Inggris Pamit dari UE

fin.co.id - 01/02/2020, 10:54 WIB

Inggris Pamit dari UE

Pesawat milik maskapai Citilink terdampak abu vulkanik erupsi Gunung Ruang di Bandara Sam Ratuangi, Manado, Sulawesi Utara

LONDON - Terhitung mulai pukul 00.01 tanggal 1 Februari 2020, Inggris resmi meninggalkan Uni Eropa. Untuk sementara, tidak banyak hal yang berubah sampai akhir tahun ini. Artinya, segala sesuatu akan langsung berubah bagi warga Inggris maupun warga Uni Eropa.

Sebab ada masa transisi selama 11 bulan sampai akhir 2020. Dan selama masa transisi itu, semua aturan yang berlaku masih seperti dulu. Di mana, Inggris masih tetap mengikuti aturan Uni Eropa, sekalipun tidak ada lagi wakil dari Inggris di Parlemen Eropa.

Terlebih, Inggris juga masih menjadi bagian dari pasar tunggal Eropa, sehingga barang-barang yang keluar dari Inggris ke Uni Eropa tidak terkena pajak, begitu pula sebaliknya. Inggris juga masih wajib membayar iuran keanggotaan di Uni Eropa.

Warga Inggris dan warga Uni Eropa masih tetap bebas bergerak tanpa perlu visa dari satu kawasan ke kawasan lainnya. Artinya, mereka bebas bekerja dan belajar di mana saja seperti yang berlaku selama ini.

Selama masa transisi, Inggris tidak diizinkan menandatangani perjanjian perdagangan dengan negara-negara lain, dan harus menunggu sampai masa transisi berakhir.

Sementara tim perunding kedua pihak saat ini sedang menyusun rancangan kesepakatan dagang baru antara Inggris dan Uni Eropa. Pembicaraan resmi diperkirakan akan dimulai pada 3 Maret mendatang. Delegasi Inggris yang dinamakan Taskforce Europe akan dipimpin oleh David Frost.

Perdana Menteri Inggris Boris Johnson ingin agar secepatnya dicapai kesepakatan dalam segala bidang: perdagangan, keamanan, pertukaran data, perikanan, penerbangan, pendidikan, dan bidang lainnya. Namun, skenario itu kelihatannya akan membutuhkan waktu bertahun-tahun.

Yang paling mungkin dirampungkan dalam waktu setahun adalah kesepakatan perdagangan. Ini berkaitan dengan lalu lintas barang, tanpa mencakup sektor jasa yang merupakan 80 persen dari ekonomi Inggris.

Namun, jika kedua belah pihak gagal mencapai kesepakatan perdagangan sampai 1 Januari 2021, dan masa transisi tidak diperpanjang, maka lalu lintas barang antara Inggris dan Uni Eropa diatur berdasarkan kerangka Organisasi Perdagangan Dunia, WTO.

Berarti, semua barang Inggris yang diimpor ke Uni Eropa akan terkena pajak, begitu juga semua barang Uni Eropa yang diekspor ke Inggris. Baik Inggris dan negara-negara Uni Eropa akan segera merasakan dampaknya. Barang-barang Inggris di Uni Eropa akan kehilangan daya saing, karena menjadi jauh lebih mahal.

Penerapan aturan WTO untuk lalu lintas barang juga akan berarti harus ada pemeriksaan di perbatasan. Berbagai skenario memperkirakan akan terjadi kemacetan panjang di kawasan perbatasan dan pada lalu lintas pelabuhan. Para ahli memperkirakan, kerugian bagi Inggris akan lebih besar, karena kehilangan akses ke pasar tunggal Uni Eropa yang luas.

Sementara itu terkait masalah Irlandia Utara akan menjadi persoalan krusial dalam proses Brexit. Menurut ketentuan yang disepakati saat ini, Irlandia Utara akan tetap berada di wilayah pabean Inggris, tetapi perbatasan pabean antara Irlandia Utara dan Uni Eropa ditetapkan berada di Laut Irlandia, yang memisahkan Irlandia Utara (bagian dari Inggris) dan Republik Irlandia (anggota Uni Eropa).

Itu berarti, barang yang tiba di Irlandia Utara dari negara-negara non-Uni Eropa akan tunduk pada aturan bea cukai Inggris, sementara barang-barang yang masuk ke Uni Eropa melalui Republik Irlandia, yang anggota Uni Eropa, akan diproses di bawah aturan Uni Eropa.

Duta Besar Inggris di Jakarta, Owen Jenkins, memaparkan keputusan negaranya untuk keluar dari Uni Eropa (Brexit) mendatangkan keuntungan bagi Indonesia, terutama dalam konteks hubungan bilateral.

Menurut Jenkins, Brexit menjadikan Inggris lebih terbuka kepada dunia dan mandiri khususnya dalam menerapkan kebijakan luar negerinya, terutama dalam memperkuat relasi dengan negara lain, termasuk Indonesia, bahkan Uni Eropa sekalipun.

Admin
Penulis