Dosen UIN: Perkawinan Anak Tinggi Karena Kampanye Ta'aruf dan Anti Pacaran

Dosen UIN: Perkawinan Anak Tinggi Karena Kampanye Ta'aruf dan Anti Pacaran

Pernikahan kakek 71 tahun dengan gadis 19 tahun di Pamanukan, Subang.--

JAKARTA, FIN.CO.ID - Maraknya kampanye ta’aruf dan kampanye anti-pacaran mengakibatkan tingginya kasus perkawinan anak.

Hal tersebut disampaikan dosen Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Musdah Mulia.

(BACA JUGA:Eril Ditemukan dalam Keadaan Selamat di Swiss, Doa Mendagri Tito Karnavian saat Pelantikan Pj TP PKK)

"Ada kampanye ta’aruf, kampanye anti pacaran juga. Itu terjadi di mana-mana sehingga perkawinan anak menjadi menyeruak," kata Musdah, Senin, 30 Mei 2022.

Mengutip dari laman resmi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Presiden RI Joko Widodo menargetkan agar Indonesia dapat menurunkan angka perkawinan anak dari 11,21 persen pada tahun 2018 menjadi 8,74 persen pada 2024.

Pernyataan dari Jokowi tersebut, telah menjadi mandat bagi pemerintah untuk menekan angka perkawinan pada usia dini.

Terlebih Indonesia merupakan salah satu negara yang menempati posisi tertinggi di Asia Tenggara terkait dengan jumlah perkawinan anak.

(BACA JUGA:Puan Enggak Main Konten 'Receh' di Medsos, Pengamat UI: Membuat Rakyat Tertawa atau Melayani Rakyat?)

"Sejak 2019, Mahkamah Agung menetapkan sebuah putusan bahwa usia minimal menikah itu adalah 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan. Tetapi, karena Undang-Undang Perkawinan itu tidak punya sanksi, jadi setiap orang yang melanggar undang-undang perkawinan itu juga tidak ada masalah," ucapnya.

Hal inilah yang lantas menyebabkan perkawinan di bawah umur masih berlangsung dengan marak di Indonesia, berbeda dengan negara lain yang memiliki sanksi tegas apabila melakukan perkawinan di bawah umur, seperti Turki.

Menurut Musdah, maraknya fenomena sosial seperti kampanye ta’aruf, kampanye anti-pacaran, kampanye perkawinan dini, hingga kampanye poligami merupakan dampak dari masuknya fundamentalisme keagamaan yang tidak diantisipasi oleh masyarakat maupun pemerintah ketika memasuki masa reformasi.

Ideologi ini, merupakan tantangan bagi feminisme yang sedang memperjuangkan keterwakilan perempuan dan hak-hak perempuan di Indonesia.

(BACA JUGA:Wali Kota Rahmat Effendi Mirip Preman, Minta Jatah Setoran dari Pejabat, Lurah dan ASN Capai Rp7,1 M)

"Fundamentalisme memanfaatkan ajaran agama untuk melegitimasi kekuasaan patriarki sekaligus meminggirkan perempuan. Ini yang menguat di masa-masa sekarang. Karena itu, perjuangan feminisme sekarang menjadi lebih serius," kata Musdah.

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


Khanif Lutfi

Tentang Penulis

Sumber: