Laut China Selatan Memanas, Pengamat Kaitkan Dengan Singkong

Laut China Selatan Memanas, Pengamat Kaitkan Dengan Singkong

  JAKARTA - Permasalahan yang terjadi di Laut China Selatan (LCS) menjadi perhatian sejumlah pihak. Ketegasan pemerintah hingga upaya komunikasi dengan negara luar dianggap perlu dilakukan. Hanya saja, komunikasi dan pendekatan yang dilakukan harus secara baik-baik. Sehingga hubungan diplomatik antar negara masih berjalan dengan baik. Bukan dengan angkat senjata. Guru Besar Universitas Jember (Unej) Prof. Achmad Subagio berpendapat, jika terjadi masalah atau sengketa yang serius di Laut China Selatan maka bisa mengganggu ketahanan pangan di Tanah Air. "Sebab, hingga kini kita masih mengimpor biomassa berupa karbohidrat sebesar 15 juta ton per tahun yang nyaris setara dengan setengah kebutuhan beras nasional," katanya, Selasa (28/9). Ia menyebutkan sebanyak 15 juta ton impor karbohidrat bukan perkara mudah didapatkan Indonesia jika terjadi masalah serius di Laut China Selatan. Oleh karena itu, ia berpendapat pemerintah harus memasifkan usaha "end to end" dari hulu hingga ke hilir sejak saat ini. Langkah tersebut diyakini dapat menjadi solusi bila terjadi permasalahan. Subagio mencontohkan saat perang gerilya pasca kemerdekaan yang dikomandoi oleh Jenderal Sudirman, Indonesia bisa menang dari Agresi Militer Belanda II berkat adanya suplai pangan. "Kalau kita lihat dalam sejarah bagaimana Pak Sudirman begerilya, salah satu kesuksesannya ya, singkong," kata dia. Beliau (Jenderal Sudirman) mempunyai sistem cadangan pangan strategis berupa singkong yang kemudian didistribusikan oleh rakyat kepada tentara saat pergerakan, jelasnya. Sementara itu, Pengamat Pertahanan dan Hubungan Internasional dari Universitas Pertamina Ian Montratama mengatakan kawasan Laut China Selatan terus memanas hingga kini. Hal itu ditambah pula adanya kemitraan antara Australia, Inggris, dan Amerika Serikat untuk membangun kapal selam nuklir untuk Negeri Kanguru senilai Rp1.425 triliun. Posisi Indonesia, ujarnya, sampai sekarang belum diketahui apakah akan netral atau masuk ke salah satu kubu. Di satu sisi, sayangnya pertahanan nasional belum terbangun merata lantaran cenderung terpusat di Sumatera dan Jawa sehingga pulau-pulau terluar berpotensi menjadi proksi. Ian berpandangan dan mengingatkan Indonesia bisa saja menghadapi ancaman dari musuh yang masuk ke dalam wilayah dengan perang gerilya lantaran menganut sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta. Pemerintah harus mampu menyebar kekuatan ke wilayah-wilayah yang sulit dideteksi oleh musuh dan harus didukung kantong-kantong logistik baik berupa senjata, amunisi hingga pangan. "Di sini saya lihat benang merah kenapa sektor pertahanan dilibatkan dalam "food estate" untuk membangun kantong-kantong logistik," kata dia. (khf/fin)

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


admin

Tentang Penulis

Sumber: