Tersulut Natuna, Investasi Bisa Terganggu

Tersulut Natuna, Investasi Bisa Terganggu

JAKARTA - Di tengah memanasnya tensi Indonesia-Cina karena persoalan Natuna, muncul kekhawatiran adanya pemutusan kerja sama dagang maupun investasi di bidang infrastruktur kedua negara. Efeknya jelas merugikan kedua negara yang sudah puluhan tahun membina hubungan baik. Menanggapi kekhawatiran ini, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi memastikan proyek infrastruktur yang dikerjasamakan dengan investasi Cina tidak ada masalah sejauh ini.”Jalan terus, tidak ada masalah, lancar-lancar saja,” tandas Budi usai bertemu Menko Polhukam Mahfud MD di sebuah restoran di kawasan Cikini, Jakarta, kemarin (8/1). Publik, sambung dia, diharapkan tidak termakan isu atau rumor yang menyesatkan. Persoalan Natuna dengan proyek dan investasi masih bisa dibedakan meski sama-sama berkaitan dengan Pemerintah Cina. ”Ya harus dipisahkan. Natuna dengan investasi,” terangnya. Budi menjelaskan, Indonesia memiliki kerja sama dengan Cina dalam berbagai proyek, termasuk infrastruktur perhubungan, seperti pengembangan kereta cepat Jakarta-Bandung sepanjang 142,3 kilometer. Nah, porsi pendanaan proyek tersebut terbagi dua, 75 persen ditanggung Cina Development Bank (CDB) dan 25 persen dari ekuitas pemegang saham Kereta Cepat Indonesia-Cina (KCIC). Untuk saham KCIC dimiliki oleh lima badan usaha Cina sebesar 40 persen, serta empat perusahaan BUMN yang tergabung dalam PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (60 persen). Untuk pembebasan lahan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung tinggal menyisakan satu persen dan ditargetkan rampung pada Januari 2020. Selain proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, Cina juga menangani berbagai proyek infrastruktur perhubungan di Indonesia. ”Kalau kereta cepat, kemudian ada beberapa pelabuhan yang sedang dibicarakan (dengan Cina). Dan sejauh ini tidak ada masalah, jalan terus,” ucap Budi. Sebelumnya Jubir Cina Geng Shuang menyatakan bahwa isu Natuna tidak menggoyahkan jalinan kemitraan strategis. ”Anda tadi menyebutkan beberapa perkembangan terkini di laut. Yang dapat saya katakan bahwa Cina dan Indonesia telah berkomunikasi tentang hal ini melalui saluran diplomatik," katanya menjawab pertanyaan dalam press briefing di Kementerian Luar Negeri Cina di Beijing, kemarin. Ia mengakui adanya perbedaan perspektif antara kedua negara dalam melihat permasalahan yang sedang menyita perhatian publik di Indonesia itu. ”Namun perbedaan itu sifatnya parsial dan tidak esensial," ujarnya menambahkan. Justru menurut dia, sebagai sama-sama negara di pesisir Laut Cina Selatan, Cina dan Indonesia memikul tanggung jawab bersama yang besar dalam memelihara perdamaian dan stabilitas di kawasan. "Kami selalu memandang hubungan China-Indonesia dari perspektif strategis dan jangka panjang karena kami percaya bahwa Indonesia juga akan fokus pada hubungan bilateral dan stabilitas regional secara menyeluruh, mampu menyelesaikan perbedaan dengan China, dan menciptakan suasana yang kondusif dan menguntungkan kedua negara dalam menyambut perayaan ulang tahun ke-70 hubungan diplomatik ini," papar Geng. Ia menganggap Indonesia sebagai salah satu negara pertama yang menjalin hubungan dengan Cina yang kini sudah memasuki tahun ke-70. ”Tahun ini juga merupakan tahun yang penting dalam proses pembangunan masing-masing. Kedua negara telah sepakat mengadakan serangkaian perayaan untuk lebih memperkuat pertukaran dan kerja sama antarkedua belah pihak di berbagai bidang, mempromosikan hubungan bilateral ke tingkat yang baru, dan saling menyuntikkan energi positif," ujarnya. Untuk diketahui, ulah Cina yang mengklaim berhak atau bahkan memiliki teritori atas wilayah di Laut Cina Selatan telah lama membuat geram negara-negara ASEAN. Malaysia misalnya telah membawa kasus pelanggaran dan klaim sepihak Cina atas Laut China Selatan ke PBB. Proposal telah dilayangkan oleh pemerintah Malaysia pada pertengahan Desember lalu. Sebelumnya, pada 2016, Pengadilan Arbritase Tetap Internasional (Permanent Court Arbitration/PCA) yang berada di bawah naungan PBB memenangkan Filipina terhadap klaim sepihak Cina atas wilayah laut Cina Selatan. Kawasan perairan Natuna(Geoseismic-seasia) Mahkamah PCA, yang mendasarkan putusannya pada UNCLOS 1982, memutuskan Cina telah melanggar hak-hak kedaulatan Filipina. Sembilan Garus Putus yang dijadikan alasan Cina dinyatakan tidak memenuhi syarat hukum internasional, dan tidak ada bukti sejarah bahwa Cina menguasai dan mengendalikan sumber daya di Laut Cina Selatan. Namun, pemerintah Cina tidak menerima putusan tersebut. Negara ASEAN lainnya, Vietnam, juga terlibat konflik wilayah dengan Cina di Laut Cina Selatan. (fin/ful)

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


admin

Tentang Penulis

Sumber: