Gugat Pimpinan KPK ke PTUN

Gugat Pimpinan KPK ke PTUN

JAKARTA - Direktur Pusat Studi dan Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari menilai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat didugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas pengembalian penyidik KPK Kompol Rossa Purbo Bekti ke institusi asalnya, Mabes Polri secara sepihak. Pimpinan KPK, kata dia, juga dapat dikenakan dugaan tindak pidana merintangi penyidikan atas keputusan tersebut. Pasalnya, Rossa merupakan salah seorang penyidik yang menangani kasus dugaan suap Pergantian Antarwaktu (PAW) DPR dengan tersangka mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan dan mantan Caleg PDIP Harun Masiku serta dua orang lainnya. Feri menilai, proses pengembalian Rossa terksesan ganjil. "Penarikan itu memang ganjil karena Rossa adalah orang yang menangai perkara Harun Masiku," ujar Feri ketika dihubungi, Rabu (5/2). Feri menyatakan, pengembalian itu menimbulkan dugaan di kalangan masyarakat bahwa Pimpinan KPK telah menjalankan kepentingan pihak-pihak yang memiliki keterkaitan dengan perkara tersebut. Apalagi, menurut dia, sama sekali tidak ada permintaan dari Mabes Polri untuk menarik Rossa. Feri berpandangan, Rossa masih berhak menjalankan tugas sebagai penyidik KPK lantaran proses pengembaliannya tidak dilakukan berdasarkan ketentuan administratif. Selain itu, keputusan Pimpinan KPK terhadap Rossa dinilainya terkesan mengganggu proses penyidikan kasus PAW. "Terhadap itu pimpinan KPK dapat digugat ke PTUN atau dikenakan pidana menghalang-halangi proses penyidikan," ungkapnya. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menyatakan, pengembalian Rossa ke Mabes Polri membuktikan adanya agenda pelemahan lembaga antirasuah yang dilakukan Ketua KPK Firli Bahuri. Sedikitnya terdapat tiga alasan mengapa dirinya menentang keputusan pengembalian Rossa ke Polri. Pertama, kata Asfinawati, Polri sebagai institusi asal Rossa tidak menarik yang bersangkutan. Lalu, sambungnya, Rossa tidak terbukti melanggar kode etik. Selain itu, menurutnya, Rossa merupakan salah satu anggota tim satgas KPK untuk menangani kasus yang menyita perhatian publik. "Ini orang lagi berprestasi, lah kenapa malah tiba-tiba dikeluarkan? Ini aneh sekali," ujar Asfinawati. Asfinawati menduga, Firli berupaya mempersulit penanganan perkara PAW. Ia menyatakan, orang baru yang menggantikan Rossa dalam proses penyidikan pasti membutuhkan waktu guna melakukan penyesuaian. "Ini jelas sekali Pak Firli bekerja untuk KPK atau yang lain pertanyaannya. Polri kan enggak minta kembali, ini motivasi Firli murni. Firli enggak mungkin kerja sendiri karena kasus ini organize crime, harus dilihat dia bekerja untuk siapa," tandasnya. Asfinawati menuturkan, Dewas KPK harus mengusut polemik ini lebih lanjut. Karena, ia khawatir, Firli bakal terus melakukan mutasi pegawai secara sewenang-wenang jika tidak ada tindakan yang serius dari Dewas. "Dan pertanyaannya kemudian dewas ke mana sekarang? Tapi mereka akan bilang, 'Oh tugas saya bukan itu'. Dari banyak komentar atau kegaduhan publik ini sudah bisa buat Dewas setidaknya bekerja di awal," tegasnya. Sementara itu, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menyebut, pengembalian Rossa ke Polri merupakan upaya sistematis yang dilakukan Ketua KPK Firli Bahuri guna merusak sistem yang selama ini telah berjalan di lembaga antirasuah. Ia mempertanyakan landasan keputusan Pimpinan KPK yang malah mengembalikan penyidik setelah berhasil mengungkap dugaan skandal suap PAW di KPU. "Isu pengembalian penyidik KPK ke instansi Polri semakin menunjukkan ketidakpahaman Firli terkait nilai-nilai yang selama ini ada di KPK," ujar Kurnia. Kurnia menyatakan, pada usia kepemimpinan yang masih seumur jagung, Firli telah menuai banyak kontroversi. Salah satunya dengan mengembalikan Rossa ke Polri. Hal ini, menurut dia, menujukkan KPK telah memasuki era otoritarianisme yang belum pernah terjadi sejak lembaga antirasuah berdiri. "Jadi kita memprediksi ke depan KPK akan semakin hancur baik dari sistem yang selama ini berjalan di KPK, dirusak oleh yang bersangkutan dan kepercayaan publik pada KPK akan semakin menurun. Dan ini harus kita sematkan kepada Firli sebagai penanggung jawab utama kerusakan KPK hari-hari ini," tuturnya. Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menegaskan Rossa dikembalikan karena adanya surat penarikan dari Polri pada 15 Januari 2020 lalu. "Yang jelas ada penarikan dari kepolisian. Suratnya kalau tidak salah itu tanggal 15 Januari. Saya lupa. Kemudian sama sekjen (sekretaris jenderal) sudah dibuatkan SK (surat keputusan) pengembalian," ucap Alex di Istana Negara. Jika institusi asal membutuhkan, kata Alex, tak perlu menunggu masa tugas berakhir. Ia menduga, penarikan Rossa atas dasar pembinaan pegawai. "Yang bersangkutan kan juga butuh kenaikan pangkat dan sebagainya. Kalau untuk pembinaan kenapa tidak? Untuk menjaga hubungan antarlembaga ya saya pikir di sana dibutuhkan mungkin untuk pembinaan. Saya tidak tahu alasannya," ucapnya. Rossa kini dikabarkan sudah tak diberikan akses untuk memasuki Gedung Merah Putih KPK. Ia pun terpaksa menggunakan akses milik rekan kerjanya agar bisa masuk ke Kantor KPK. Bahkan, Rosa juga turut dikabarkan sudah tak lagi bisa mengakses email pegawai miliknya. (riz/gw/fin)

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


admin

Tentang Penulis

Sumber: