Prodi Baru Harus Sesuai Kebutuhan Industri

Prodi Baru Harus Sesuai Kebutuhan Industri

JAKARTA - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ke depan akan memberikan hak otonomi kepada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Swasta (PTS) dalam membuka program studi (prodi) baru. Plt. Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemendikbud, Nizam mengatakan, meski PTN dan PTS diberikan otonomi dalam pembukaan prodi baru, tetap harus dipikirkan secara matang-matang. "Prodi baru itu harus relevan, dan memang betul dibutuhkan industri," ujar Nizam, Jumat (7/2) Nizam mengusulkan, sebelum memutuskan membuka prodi baru ada baiknya antara kampus dengan pihak perusahaan menggelar diskusi, agar prodi ini semakin mantap untuk diterima industri, "Karena komunikasi itu juga yang nantinya akan menjembatani lulusan untuk diterima di perusahaan tersebut. Tapi jangan sampai juga nanti ketika industri sudah sangat mengahrapkan, tapi regulasinya malah menghambat untuk lahirnya prodi baru," jelasnya "Untuk itu kami bakal membantu kampus untuk menggodok kurikulum bersama-sama. Agar lulusan dapat diterima oleh industri," imbuhnya. Nizam menjelaskan, bahwa program ini merupakan kebijakan Nadiem di bidang Pendidikan tinggi yang merupakan lanjutan dari 'Merdeka Belajar' yang pernah diluncurkan Desember 2019 lalu. Terdapat empat penyesuaian kebijakan dalam 'Kampus Merdeka' yang menjadi konsep 'Merdeka Belajar'. "Salah satunya adalah kebijakan untuk memberikan otonomi bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Swasta (PTS) untuk melakukan pembukaan atau pendirian program studi (prodi) baru," terangnya. Terkait hal itu, Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa meminta Kemendikbud melakukan pemetaan kebutuhan sumber daya manusia yang dibutuhkan oleh Indonesia. "Jangan sampai dibebaskan pembukaan program studi karena tidak terkait dengan peta besar kita, jadi mubazir," kata Ledia. Ledia menilai, upaya Mendikbud untuk mempermudah pembukaan prodi baru menjadi catatan tersendiri baginya. Sebab, tanpa adanya pemetaan tersebut, maka kebijakan itu dirasa masih kurang terukur. Misalnya terkait dengan prodi yang berkenaan dengan bidang kesehatan. Menurutnya, hal itu kurang beralasan, sebagai contohkan misalnya kebutuhan akan sumber daya perawat yang di beberapa daerah masih dibutuhkan. "Ketik dibuka program studi keperawatan ternyata gak bisa dibuka karena dianggap sudah terlalu banyak, terlalu banyaknya di mana? Karena kasus gizi buruk dan segala macam itu bukan dilakukan oleh dokter. Pendampingannya oleh perawat dan sarjana kesehatan masyarakat," tuturnya. "Jika kebijakan untuk mempermudah pembukaan prodi tapi mengecualikan prodi di bidang kesehatan. Sementara pemetaan kebutuhan sumber daya manusia tidak ada, maka itu akan kontra produktif," imbuhnya. Kampus Merdeka, merupakan konsep baru merdeka belajar di perguruan tinggi yang dirilis oleh Mendikbud Nadiem Makarim. Salah satu konsepnya adalah mengenai otonomi bagi perguruan tinggi negeri (PTN) dan swasta (PTS) untuk membuka atau mendirikan program studi (prodi) baru. Otonomi ini, kata Nadiem, diberikan jika PTN atau PTS tersebut memiliki akreditasi A atau B, dan telah melakukan kerja sama dengan organisasi dan atau universitas yang masuk dalam QS Top 100 World Universities. "Pengecualian berlaku untuk program kesehatan dan pendidikan. Dan seluruh prodi baru akan otomatis mendapatkan akreditasi C," terangnya. Nadiem menambahkan, bahwa kerja sama dengan organisasi akan mencakup penyusunan kurikulum, praktik kerja atau magang, dan penempatan kerja bagi para mahasiswa. "Kemdikbud akan bekerja sama dengan perguruan tinggi dan mitra prodi untuk melakukan pengawasan. Tracer study wajib dilakukan setiap tahun. Perguruan tinggi wajib memastikan hal ini ditetapkan," pungkasnya.(der/fin)

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


admin

Tentang Penulis

Sumber: