Kembalikan Modal, Jerat Hukum Sudah Menanti Kepala Daerah

Kembalikan Modal, Jerat Hukum Sudah Menanti Kepala Daerah

JAKARTA - Model Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung bergeser menjadi demokrasi berbayar bakal berdampak buruk terhadap demokrasi di Indonesia. Efeknya, jeratan hukum bagi kepala daerah terpilih tak bisa terhindarkan. Alasannya sederhana, mereka akan menggali sumber pendapatan ”haram” untuk mengembalikan modal yang telah disalurkan. Pernyataan ini ditegaskan Pengamat Hukum dan Tata Negara Yusdiyanto Alam, merespon pertemuan Mendagri Tito Karnavian dengan sejumlah praktisi dari 10 Univeristas dari berbagai daerah pekan lalu. ”Problematika Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 jelas berdampak pada penyelenggaraan Pilkada 2020. Karena memberikan beban berat kepada calon sampai terpilih sebagai kepala daerah akibat dari beban biaya politik yang harus ditanggung oleh kepala daerah terpilih,” papar Yusdiyanto kepada Fajar Indonesia Network (FIN) Minggu (9/2). Beban tersebut muncul dari kebutuhan partai dan ekspektasi masyarakat. ”Hal ini menjadi aneh, Pilkada dengan biaya yang besar hanya untuk memenjarakan para kepala daerah yang baru dilantik. Hal ini tidak seimbang dengan biaya pilkada yang telah dikeluarkan. Coba saja Anda hitung. Ini catatan eksaminasi saya,” terang Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung itu. Yusdiyanto pun memberikan contoh berulangnya Operasi Tangkap Tangan (OOT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi di Lampung. ”Dapat dipastikan perilaku korupsi yang serupa itu terjadi di 15 kab/kota di Lampung dan merembet ke daerah lain. Rata-rata yang ditangkap oleh KPK merupakan orang-orang terpilih dan telah melalui uji publik. Baik secara kompetensi, integritas dan berpendidikan yang lebih baik. Hal ini diduga dari efek dari modal pilkada yang besar,” terangnya. Dari catatam yang ada isu Pilkada yang kerap muncul lebih disebabkan karena beberapa hal. Dari multi tafsir atas UU dan peraturan pilkada/pemilu, sengketa gugatan PTUN atas peraturan Pilkada sampai SDM penyelenggara yang kurang kompeten. Kompleksnya tiga hal tersebu makin diperparah dengan ketergantungan kredibilitas dan indepedensi penyelenggara, belum lagi permasalahan di perbatasan, pedalaman, kepulauan dan mobilisasi pemilih. ”Problem lain yang akan muncul, rendahnya partisipasi masyarakat, soal kampanye dari masa tenang dan pemungutan suara hingga penetapan calon terpilih. Dan pastinya publik akan disuguhkan dengan persoalan sengketa dari administrasi, pidana, mahkamah konstitusi,” terang doktor jebolan Universitas Padjajaran itu. Persoalan akan kembali muncul dengan kosep pendistribusian logistik yang selama ini tidak terencana dan terukur termasuk terganggunya pendistribusian akibat kerawanan dan sulitnya kondisi geografis. ”Jika boleh saran, pemerintah (DPR dan Presiden. Red) harus segera merevisi Undang-Undang Pilkada. Karena secara Umum UU Pilkada tersebut hanya meletakkan pada demokrasi prosedural dengan mengabaikan demokrasi subtansial,” paparnya. Disinggung bagaimana konsep idealnya? Yusdiyanto berharap pemerintah dan DPR dapat memasukan beberapa hal. Salah satunya bab tentang persyaratan calon. ”Pertama tentang hak politik yang tidak dicabut oleh pengadilan. Saran saya minimal 15 tahun setelah yang bersangkutan bebas dari hukuman, baru diperbolehkan,” imbuhnya. Selanjutnya bab yang berisi tentang penyelenggara Pilkada khususnya nomenklatur kelembagaan Bawaslu. ”Menurut UU Pilkada, Bawaslu sebagai Panwas sifatnya ad-hoc. Menurut UU Pemilu, Bawaslu telah permanen. Keanggotaan, menurut UU Pilkada tiga orang, sedangkan menurut UU Pemilu tiga sampai tujug orang. Ini yang membuat rancu,” jelasnya. Nah, yang paling mencolok, ada di Pasal 30. ”Tugas wewenang Panwas harus ditambah terkait sejak NPHD ditanda-tangani sudah mulai bekerja, termasuk memantau proses penjaringan calon yang dilakukan oleh partai politik,” urainya. Bab selanjutnya tentang hak memilih. Yusdiyano menyarankan perlu diakomodir pemilih yang tinggal di kawasan hutan, lembaga pemasyarakatan dan penyadang disabiitas dengan perekaman data pemilih berbasis digital. ”Dan yang perlu direvisi selanjutnya adalah bab kampanye. Di dalamnya ada batasan waktu mengingat sekarang hampir delapan bulan dan sangat tidak efektif dan berlebihan, termasuk biaya kampanye calon perlu dirasionalisasi,” terangnya. Yusdiyanto juga mengkritisi soal laporan penerimaan pengawasan sumbangan dana kampanye. Selama ini kepatuhan pelaporan cukup meningkat tetapi kebenaran rendah, terlebih dalam UU Pilkada tidak ada sanksi yang memberikan efek jera terkait sumbangan dan penggunaan dana pilkada. ”Justru penyelenggara memberikan kesempatan pada calon kepala daerah dan wakilnya untuk memberikan laporan yang tidak benar,” ungkapnya. Untuk mengatasi hal ini perlu ia pun memberikan beberapa rekomendasi. Pertama ruang lingkup peraturan. Di dalamnya harus disertakan pelaporan dan pengawasan biaya Pilkada yang dikeluarkan paslon harus diperluas yaitu pra kampanye dan pasca kampanye (biaya saksi dan biaya sengketa). Demikian pula dengan laporan sumbangan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, dan terakhir penyusunan mekanisme pendanaan partai yang akuntabel. Bab partisipasi masyarakat, menurutnya juga perlu diperluas dengan melaksanakan kerjasama dengan perguruan tinggi, ormas dan organisasi kepemudaan sebagai bentuk kerjasama dalam hal pengawasan Pilkada. Termasuk bab tentang penangan Laporan Pelanggaran Pemilihan, Bawaslu harus diposisikan sebagaimana diatur dalam UU Pemilu namun diperluas yaitu Bawaslu sebagai pencegah sekaligus penindak yang tidak hanya mengedepankan prosedur hukum namun juga substansi hukum baik secara tempus delik maupun locus delik. Khsusus penindakan politik uang, harus disetarakan dengan tindak pidana khusus (korupsi) namun pelapor tidak boleh diproses. Sedangkan hal-hal yang disebut akumulatif, terstruktur sistematis dan masif harus pula direview cukup salah satu saja. ”Bila terbukti, salah satunya Bawaslu dapat mendiskualifikasi calon dan membekukan partai politik yang terlibat money politik,” terangnya. Yang tidak kalah menariknya, sasaran politik uang tidak boleh hanya berhenti pada pelaku tapi harus sampai pada yang diuntungkan atas tindakan prilaku tersebut yaitu calon kepala daerah termasuk koorporasi. ”Harus bisa dijerat pidana (corporasi crime), yang diaggap sebagai bandar dalam setiap even Pilkada di Lampung dan daerah lainnya,” terangnya. Yusdiyanto juga menyinggung soal bab sentragakumdu. ”Sewajarnya dibubarkan. Cukup diperkuat Bawaslu sebagai pelaksana peradilan adjudikasi pelanggaran Pilkada,” tegasnya. Terakhir, Yusdiyanto meminta pemerintah maupun DPR dapat mengimplementasikan proses Pilkada menggunakan electronic voting untuk efektivitas dan efisiensi pilkada. ”Manual banyak makan waktu, rentan kecurangan. Dan lagi-lagi politik uang. Cepat atau lambat harus diterapkan. Memang ada problem, tapi baiknya problem itu dipecahkan bukan menjadi masalah atau pembahasan yang menahun,” timpalnya. Ia juga berharap ada tata ulang jadwal Pilkada yang tidak digabungkan dengan pemilu nasional, sehingga ada pemilu nasional dan pemilu daerah. ”Ini mengingat penggabungan Pilpres dengan Pemilu saja menelan korban banyak apalagi ditumpuk jadi satu di pemilu 2024,” jelasnya. Sebelumnya, Mendagri Tito Karnavian mengundang secara khusus perwakilan dari sembilan universitas, di kantor Kemendagri Jalan Merdeka Utara Nomor 7, Jakarta. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian pun mendapat masukan dalam proses diskusi, khususnya aspek pembelahan, kerentanan dan biaya politik yang mahal. Tito yang memimpin langsung pertemuan ini mengatakan pertemuan dengan pihak universitas ini adalah inisiatifnya. ”Ini inisiatif saya, karena aspek politik, Pilkada di 270 daerah sangat esensial bagi demokrasi di Indonesia,” terangnya, Jumat (7/2). Sejak 2004 hingga 2018, terang Tito, Pilkada menghasilkan aspek positif, Pilkada langsung juga menyimpan berbagai ekses sebaliknya, di antaranya konflik sosial berbasis identitas, keterbelahan masyarakat dalam dua kubu yang bertentangan yang memicu kerawanan sosial serta high cost atau berbiaya sangat tinggi. ”Biaya tinggi Pilkada secara langsung telah berpengaruh pada kualitas tata kelola kepemimpinan di daerah,” lanjut Tito. Dalam diskusi ini, hadir perwakilan sembilan universitas, yang meliputi Universitas Indonesia (UI), Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Andalas, Universitas Sam Ratulangi, Universitas Padjadjaran, Universitas Lambung Mangkurat, dan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. ”Jika ekses negatif Pilkada ini dibiarkan terus-menerus, alam demokrasi di Indonesia dan akan timbul benih-benih konflik sosial di masyarakat. Oleh karena itu, memang sudah sepatutnya perlu diadakan evaluasi terhadap efektivitas dari sistem Pilkada langsung. Namun, kami ingin evaluasi itu dilakukan secara akademis oleh pihak independen eksternal, yakni universitas," kata Tito dengan lugas. Menanggapi hal tersebut, para perwakilan universitas menyambut positif dan menghargai inisiatif pertemuan dari Mendagri ini. ”Ini adalah kesempatan pertama kami bertemu dengan Mendagri setelah polemik ramai rencana Mendagri mengubah Pilkada langsung,” ujar Wawan Mas'udi dari Departemen Politik dan Pemerintahan UGM Jogjakarta. ”Ada kekeliruan di masyarakat selama ini bahwa seolah Mendagri ingin mengembalikan sistem Pilkada menjadi tidak langsung," ujar Wawan dalam pertemuan tersebut. "Ternyata tujuan Mendagri adalah evaluasi bersifat komprehensif tentang Pilkada langsung di Indonesia guna mereduksi ekses negatif Pilkada serta menyesuaikan dengan kondisi perkembangan masyarakat,” ungkap Wawan. Sementara itu, Ferry Liando, pengajar dari Universitas Sam Ratulangi, memaparkan bahwa universitasnya telah berpengalaman di dalam melakukan riset Pilkada khususnya dari aspek budaya lokal seperti yang diinginkan Mendagri. Ditambahkannya, bila Mendagri ingin menyesuaikan sistem Pilkada dengan kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat daerah, itu adalah hal yang sangat patut didukung dan ide ini sangat relevan. ”Kami sangat senang dan bersedia membantu Mendagri untuk melakukan riset akademis untuk perbaikan Pilkada dari berbagai aspek termasuk aspek manajemen konflik sosial," pungkas Ferry. Pertemuan ini berlangsung selama sekitar 2,5 jam. Sebagai tindak lanjut pertemuan ini, pihak universitas akhirnya sepakat untuk mengusulkan riset desain evaluasi bersifat akademis tentang Pilkada langsung ke Kemendagri dalam rangka evaluasi komprehensif Pilkada. (fin/ful)

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


admin

Tentang Penulis

Sumber: