Wacana Kembalinya 600 Eks ISIS asal Indonesia Dinilai Hanya Strategi

Wacana Kembalinya 600 Eks ISIS asal Indonesia Dinilai Hanya Strategi

JAKARTA - Wacana kembalinya 600 Eks ISIS asal Indonesia masih menjadi pro dan kontra. Opsi terbaiknya tidak memberi kesempatan mereka kembali ke Tanah Air. Sebab, selama ini mereka sudah bergabung dengan kelompok radikal di luar negeri. Selain itu, mereka sudah berniat mendirikan negara lain. "Sebaiknya memang jangan dikembalikan ke Indonesia. Tetapi atas nama kemanusiaan dan perlindungan HAM, negara seharusnya memberikan prioritas. Terutama pada kelompok rentan anak-anak dan perempuan," kata Direktur Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, Ruby Kholifah, di Jakarta, Senin (10/2). Selain itu, pasal 23 huruf d dan huruf f UU Kewarganegaraan Tahun 2016 menyatakan tentang hal-hal yang membuat status kewarganegaraan WNI otomatis gugur. Yaitu bergabung dengan ketentaraan asing tanpa ijin presiden dan mengangkat sumpah setia kepada unsur asing. Pertimbangan lain adalah beberapa kali perempuan menjadi pelaku utama aksi teror. Di antaranya bom bunuh diri melibatkan seorang ibu dengan anak-anaknya yang masih di bawah umur di Surabaya pada Mei 2018. Perempuan tersebut diketahui bernama Puji Kuswati (43) yang mengajak dua putrinya berinisial Famela Rizqita (9) dan Fadhila Sari (12). Puji Kuswasi menjadi bagian dari jaringan teror bom bunuh diri karena suaminya, Dita Oepriarto (48), dan anak-anaknya, Yusuf Fadhil (18), Firman Alim (16), Rizqita juga turut serta. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyatakan status kewarganegaraan mereka belum terverifikasi. Sejumlah negara sudah tegas mencabut kewarganegaran warganya yang tergabung ISIS dan organisasi afiliasinya. Salah satunya Jerman. Pemerintah Indonesia, sampai saat belum mengambil keputusan apapun terkait hal tersebut. Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan secara pribadi tidak menyetujui wacana yang menimbulkan polemik itu. "Namun, jika memang wacana tersebut dilanjutkan perlu assessment secara ketat untuk orang-orang itu. Lebih baik memprioritaskan anak-anak. Berdasarkan UU Perlindungan Anak, negara wajib memberikan perlindungan. Skenario terbaik dari yang terburuk adalah memulangkan anak-anak yang dibawa orang tuanya," tukas Ruby. Selain itu, dalam kewajibannya melindungi warga negara dan alasan HAM, pemerintah bisa mempertimbangkan mereka yang bukan kombatan. Baik perempuan dan anak-anak. Sementara itu, pengamat terorisme dari Universitas Indonesia (UI) Ridlwan Habib Wacana menegaskan wacana kembalinya 600 Eks ISIS asal Indonesia dinilai hanya sebuah strategi. Usai organisasi teroris itu tumbang, pengikutnya mencari cara lain agar bisa mempertahankan ideologinya. Strategi ini disebut hanya pura-pura kalah alias taqiyah. Saat ini mereka tidak memiliki wilayah untuk mengembangkan strategi Inhiyaz (Berbaur atau menyamar sebagai masyarakat biasa). "Nah agar bisa dipercaya sebagai masyarakat biasa caranya ya taqiyah atau pura-pura," kata Ridlwan di Jakarta, Senin (10/2). Dia mendukung upaya pemerintah yang mengkaji ulang wacana tersebut. Terlebih, program deradikalisasi di Indonesia dianggap belum cukup baik. Apalagi, selama ini mereka memproklamirkan diri melawan negara. Sebelumnya Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Suhardi Alius menyebuy ada 600-an eks ISIS asal Indonesia yang mengungsi di Suriah. Mereka berada di kamp AL Roj, Al Hol, dan Ainisa. Di antara mereka anak-anak kecil. Terpisah, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menyatakan ada sejumlah pihak yang menyebut ISIS bukan negara. Karena itu, status WNI yang bergabung dalam organisasi tersebut tidak hilang. "Secara teoritis ISIS negara ataupun bukan, memang dapat diperdebatkan. Sama seperti Israel. Apakah negara atau bukan? Menurut Amerika Serikat, Israel adalah negara. Namun tidak bagi Indonesia. Begitu pun Indonesia menganggap Palestina adalah negara. Tetapi, AS tidak menganggap demikian," ujar Hikmahanto di Jakarta, Senin (10/2). Hal yang sama terjadi pada Republic of China (Taiwan). Masyarakat di Taiwan menyatakan dirinya sebagai negara. Bahkan di sana ada berbagai organ negara. Seperti presiden. Namun Indonesia, Amerika dan beberapa negara tidak mengakui Republic of China (RoC) sebagai negara. Yang diakui adalah People's Republic of China (PRC) sebagai negara. "Apabila ada WNI yang bergabung dengan tentara Israel, akan kehilangan status kewarganegaraannya? Mengingat Israel bukanlah negara menurut Indonesia. Bagaimana dengan ISIS? Bagi pengikutnya, ISIS dianggap negara. Namun tidak demikian bagi Indonesia dan semua negara di dunia," tukasnya. Apabila mencermati Pasal 23 ayat (d) UU Kewarganegaraan Tahun 2016, maka pembentuk UU saat itu sangat cermat menangkap kekisruhan apa yang dimaksud dengan "negara". Pembentuk UU tidak menggunakan istilah "negara" dalam rumusan Pasal 23 huruf (d). Yang digunakan adalah istilah "dinas tentara asing". Karena itu, istilah dinas tentara asing tidak berkaitan dengan "negara". "Dinas tentara asing bisa mencakup tentara dari suatu negara yang diakui oleh Indonesia. Atau tentara dari suatu negara yang tidak diakui oleh Indonesia. Bisa juga tentara dari sebuah pemberontak di suatu negara," paparnya. Sebab itu, mereka yang tergabung dalam tentara ISIS telah hilang status kewarganegaraannya karena bergabung dengan dinas tentara asing. ISIS diketahui merupakan pemberontak dari pemerintahan yang sah. Salah satu tujuan ISIS adalah menggulingkan pemerintahan sah di Suriah dan Irak. Artinya, para WNI yang tergabung dalam ISIS sebenarnya masuk dalam kelompok pemberontak di suatu negara. "Karena itu, secara otomatis WNI yang tergabung dalam tentara ISIS kehilangan kewarganegaraannya. Karena merujuk pada Pasal 31 ayat (1) Peraturan Pemerintah 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan dan Pembatalan Kewarganegaraan," ucapnya.(rh/fin)

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


admin

Tentang Penulis

Sumber: