Pembahasan Omnibus Law Bisa Ditunda

Pembahasan Omnibus Law Bisa Ditunda

JAKARTA - Langkah antisipasi penyebaran virus corona diambil DPR RI. Sekretaris Jenderal DPR RI Indra Iskandar mengatakan telah mengeluarkan kebijakan kepada pegawai di lingkungan Kesekjenan dan Badan Keahlian DPR RI menerapkan Bekerja dari Rumah atau (WFH). Sejumlah agenda penting DPR diperkirakan juga akan ditunda. Salah satunya soal pembahasan Omnibus Law. Menurutnya, langkah tersebut diinstruksikan pimpinan DPR untuk mengikuti perkembangan secara aktual tentang merebaknya COVID-19. Dalam satu pekan ke depan, semua aktivitas pelayanan publik dan kegiatan yang tidak berkaitan langsung dengan pelayanan publik, dilakukan dari rumah. Untuk pegawai yang WFH diutamakan berusia di atas 50 tahun dan pejabat eselon 4. Tapi, pihaknya melakukan sistem piket di masing-masing unit. Karena mulai Selasa (17/3) hingga Jumat (20/3) akan dilakukan penyemprotan disinfektan. Indra mengatakan, unit kepegawaian yang harus siaga di Kompleks Parlemen seperti dokter, bagian administrasi keuangan dan pengamanan gedung parlemen. “Petugas pengamanan gedung parlemen tetap bekerja seperti biasa untuk mengamankan Kompleks Parlemen," kata Indra di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/3).

BACA JUGA: Kenali Cara Penyebaran, Ciri-ciri, Gejala dan Pencegahan Virus Corona

Kesekjenan DPR bersama MPR dan DPD RI telah sepakat untuk melakukan penyemprotan cairan disinfektan di seluruh ruang publik di dalam Kompleks Parlemen hingga lima hari ke depan. Indra mengatakan, Kesekjenan DPR juga akan memperbanyak titik-titik yang menyediakan alat pembersih tangan atau hand sanitizer untuk mencegah penyebaran COVID-19. Sementara itu, anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani menanggapi pembentukan gugus tugas percepatan penanganan Covid-19 oleh presiden sebagai langkah tepat, meski agak terlambat. "Gugus tugas harus bekerja progressif, fokus, memiliki indikator kerja dan time line yang jelas. Harus langsung kerja. Kangan sampai terjebak pada urusan administrasi atau birokrasi," katanya. Menurut Netty, sejak awal dia sudah mendesak pemerintah melalui Kemenkes RI untuk tidak lamban dalam penanganan. “Saya menilai terlambat. Implikasinya sudah kemana-mana. Kepanikan menyebar di masyarakat sampai pada panic buying akibat kurangnya informasi yang tepat. Rumor dan hoax bertebaran. Bahkan muncul pemain masker yang mengambil kesempatan dengan mencari keuntungan pribadi. Mengapa WHO sampai secara khusus menyurati Indonesia agar menerapkan darurat nasional," sesalnya. Netty meminta transparansi dari pemerintah tentang daerah sebaran COVID-19 agar masyarakat dapat berpartisipasi dalam melakukan antisipasi. "Petakan dengan jelas dan informasikan pada masyarakat agar tidak terjadi kepanikan. Daerah yang menjadi entry point warga negara asing seperti Kuala Namu, Menado, Bali, dan daerah lainnya, harus mendapat perhatian khusus. Jika diprediksi makin meningkat, kondisi ini dapat dijadikan dasar untuk dilakukan lockdown sebagai langkah pencegahan penyebaran lebih luas," paparnya.

BACA JUGA: Bukannya Membantu Warga, Spiderman di Makassar Kerjaannya Justru Mencuri

Terkait penanganan orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dengan pengawasan (PDP), Netty agak menyesalkan bahwa proses pengetesan spesimen pada PDP masih harus dilakukan di Balitbangkes, Jakarta. “Bagaimana keamanannya selama dibawa. Apakah Kemenkes tidak mampu menyiapkan laboratorium di setiap kota-kota besar?," tanya Netty. Dia berharap gerakan pencegahan tangkal Covid-19 harus melibatkan masyarakat secara masif. Terpisah, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan tidak menutup kemungkinan akan dilakukan penundaan pembahasan RUU skema Omnibus Law. "Karena pembahasan dari RUU Omnibus Law ini akan melibatkan banyak pihak dari berbagai unsur masyarakat. Sehingga sangat rentan terjadi penularan COVID-19 atau hal-hal lain yang tidak diinginkan," ujar Dasco di Jakarta, Senin (16/3). Menurutnya, setelah masa reses berakhir pada 23 Maret 2020, DPR RI dipastikan akan membahas RUU Omnibus Law. Namun belum ditentukan dibahas secara tatap muka atau virtual. Dia menjelaskan dalam tata laksana pembahasan RUU, ketika pemerintah menyerahkan draf RUU maka pimpinan DPR akan membahasnya dalam rapat pimpinan. Draf RUU tersebut dibawa ke Badan Musyawarah (Bamus) dan tahap selanjutnya adalah Rapat Paripurna digelar untuk mengumumkam RUU tersebut. "Lalu DPR menunjuk komisi yang bertugas membahas draf RUU itu bersama perwakilan pemerintah. Namun, karena situasinya saat ini tidak memungkinkan, ada kemungkinan pembahasan juga ditunda," paparnya.(khf/fin/rh)

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


admin

Tentang Penulis

Sumber: