Perusahaan Leasing Masih Bisa Tarik Obyek Jaminan Fidusia Pascaputusan MK

Perusahaan Leasing Masih Bisa Tarik Obyek Jaminan Fidusia Pascaputusan MK

JAKARTA-Advokat yang sekaligus praktisi hukum Ari JC Pasaribu menilai, Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 18/PUU-XVII/2019 tentang pengujian Undang Undang No 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, ditujukan untuk perlindungan bagi debitur yang beritikad baik. Hal ini sebaiknya diikuti pula keputusan yang memberi perlindungan hukum bagi kreditur yang beritikad baik pasca pengambilan obyek jaminan fidusia. Menurutnya, keputusan ini sudah baik, namun akan lebih baik lagi apabila diikuti ada keputusan lain yang memberikan perlindungan kepada kreditur yang beritikad baik. Jadi ada keseimbangan perlindungan baik debitur dan kreditur. Keputusan semacam itu  akan berdampak positif  pada iklim investasi, khususnya di dunia finance atau pembiayaan. Karena kreditur tidak perlu kuatir atau ragu dalam menjalankan eksekusi obyek jaminan fidusia. ”Saya kira, ini adalah langkah baik, yang harus kita dukung bersama. Namun jangan lupa kita memerlukan keputusan yang melindungi kreditur yang beritikad baik dalam pengambilan obyek jaminan fidusia. Ingat, jaminan fidusia itu adalah hukum perdata, kenapa ? Jangan sampai ada debitur yang beritikad buruk yang menggunakan keputusan MK No 18/PUU-XVII tahun 2019 itu, sebagai dasar pelaporan pencurian pascapengambilan obyek jaminan fidusia,”  kata Ari. Selain berdampak ekonomi, adanya perlindungan hukum bagi debitur dan kreditur secara seimbang akan memberikan dampak sosial yang positif. ”Biasanya, di lapangan akan terjadi kerawanan. Misalnya memicu bentrokan dan sebagainya. Saya berharap nantinya, apabila ada keseimbangan perlindungan ini bisa mengurangi dampak sosial yang kurang baik ,” katanya. Ari menilai, parate eksekusi pada dasarnya masih berlaku untuk fidusia. Namun, dengan adanya keputusan MK ini, maka parate eksekusi ini harus memenuhi syarat-syarat tertentu. ”Misalnya adanya kesepakatan cidera janji, dan adanya keberatan dari debitur itu sendiri. Nah, dalam dinamikanya, yang terpenting adalah pembuktian pada unsur cidera janji itu. Jadi syarat batalnya perjanjian itu sudah ada. Nah, sekarang bagaimana para pihak dalam perjanjian itu memandang persoalan ini,” katanya. Sebenarnya, menurutnya, proses eksekusi ini tidak akan menjadi persoalan jika merujuk pada himbauan Kapolri agar proses eksekusi barang jaminan menyertakan aparat keamanan. ”Dalam penjelasan Undang-Undang Fidusia itu dikatakan bahwa kreditur diperbolehkan menggunakan aparat keamanan untuk melakukan eksekusi. Jika hal ini harus melalui pengadilan, biasanya jurus sita pengadilan juga menggunakan aparat keamanan. Jadi soal ini masih diperlukan solusi lebih lanjut dari Pengadilan,” tambah Ari. Terkait adanya kemungkinan penarikan/pengambilan obyek jaminan fidusia menjadi dugaan tindak pidana, Ari menilai, ini adalah sesuatu yang berlebihan. Karena, pada dasarnya obyek jaminan fidusia sudah diatur dalam kesepakatan yang mengatur hak dan kewajiban. ”Jika ada sengketa, harusnya tunduk pada akte jaminan fidusia. Jika ini menjadi sebuah perkara, harusnya tidak sampai ke meja polisi untuk menjadi perkara pidana. Harusnya para pihak membawa ke pengadilan untuk dijadikan perkara perdata,” paparnya. Dalam sidang, Ari juga melihat perlunya melibatkan pihak asosiasi perusahaan pembiayaan. Di sana, asosiasi punya peran untuk memberikan pemahanan tidak hanya sebatas pada proses sidang, namun juga kepada masyarakat. ”Saya kira banyak hal yang perlu disosialisasikan oleh asosiasi kepada masyarakat agar persoalan ini tidak berlarut-larut,” katanya. Sementara itu Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno mengatakan, ada salah penafsiran di masyarakat terkait pascaputusan MK No. 18/PPU-XVII/2019 tertanggal 6 Januari 2019 tentang fidusia Bahwa seolah-olah pemegang hak fidusia (leasing) tidak boleh lakukan penarikan sendiri, tapi harus mengajukan permohonan penarikan kepada pengadilan luar negeri. "Bukan demikian, perusahaan masih bisa menarik kendaraan debitur macet tanpa melalui pengadilan," kata Suwandi melalui sambungan telepon. Menurutnya, Putusan MK itu justru memperjelas Pasal 15 Undang-Undang No.42 Tahun 1999 tentang wanprestasi atau cedera janji antara debitur dan kreditur. ”Perusahaan leasing dapat mengeksekusi apabila ada beberapa kondisi. Seperti debitur terbukti wanprestasi, debitur sudah diberikan surat peringatan, dan perusahaan pembiayaan memiliki sertifikat jaminan fidusia, sertifikat hak tanggungan dan atau sertifikat hipotek,” katanya. (wsa/fin)  

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


admin

Tentang Penulis

Sumber: