Rapid Test Baiknya Door to Door

Rapid Test Baiknya Door to Door

JAKARTA - Rapid test atau tes cepat terkait wabah COVID-19 harus dilakukan door to door atau dari rumah ke rumah. Tujuannya untuk menghindari kerumunan sesuai dengan imbauan pemerintah dalam upayya pencegahan penyebaran COVID-19. Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengatakan pelaksanaan rapid test sebaiknya dilakukan oleh petugas medis dengan mendatangi masyarakat dari rumah ke rumah. Langkah tersebut untuk menghindari kegiatan dengan kerumunan orang banyak. "Tentang bagaimana itu tes-tes dilakukan, saya kira bisa dengan berbagai cara, ada yang door to door, ada juga disediakan di tempat dengan jumlah terbatas, yang penting jangan sampai ada kerumunan orang banyak," katanya dalam keterangan tertulisnya, Jumat (27/3). Dikatakannya, ada beberapa daerah yang melaksanakan tes cepat dengan memanggil warganya berkumpul di satu tempat. Namun akhirnya mekanisme tersebut dibatalkan. "Beberapa daerah yang tadinya akan melakukan tes melalui kerumunan yang banyak, itu syukur sudah dibatalkan. Sehingga dilakukan tes itu di tempat-tempat tertentu, dengan jumlah tertentu yang tidak melanggar social distancing, sehingga kerawanannya bisa dihindari," jelasnya.

BACA JUGA: Bantuan Kemanusiaan dari Tiongkok Kepada Pemerintah Indonesia

Tes cepat dilakukan dengan menggunakan peralatan khusus oleh petugas Dinas Kesehatan di masing-masing daerah. Tes dilakukan dengan mengambil sampel darah untuk diteteskan ke alat tes cepat dan ditambahkan dengan cairan reagen. Juru bicara pemerintah untuk penanganan COVID-19 Achmad Yurianto menegaskan hasil rapid test bukan jaminan tidak terinfeksi virus corona baru itu. "Manakala di antara saudara-saudara ada yang sudah melaksanakan rapid test dan hasilnya negatif, jangan memaknai anda bebas dari penyakit ini," ujarnya saat konferensi pers Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 di Graha BNPB. Ada beberapa kasus yang tesnya menunjukkan hasil negatif, namun sebenarnya merupakan pasien yang sudah terinfeksi. Sebab waktu infeksi masih kurang dari 7 hari maka hasil yang keluar belum menunjukkan fakta tersebut. "Hal itu disebabkan karena antibodi belum terbentuk maka saat pemeriksaan bisa memberikan hasil yang negatif," terangnya. Dijelaskannya, sebenarnya virus SARS-CoV-2 itu sedang berproses karena tubuh manusia bisa mendapatkan antibodi setelah hari ketujuh setelah infeksi. "Oleh karena itu seharusnya dilakukan pemeriksaan ulang pada tujuh hari setelah pemeriksaan pertama. Manakala dalam pemeriksaan tujuh hari kemudian juga masih negatif maka saat ini bisa dikatakan saudara sedang tidak terinfeksi," jelasnya. Meski demikian, hal itu tidak menjamin seseorang akan bebas atau kebal dari COVID-19. Hasil tes cepat, hanya menunjukkan seseorang belum terinfeksi dan masih memiliki risiko tertular. "Jadi tetaplah waspada dan melakukan jaga jarak untuk menghindari kontak dengan orang yang sudah terinfeksi," pintanya. Yuri melanjutkan, meski tak dapat memberikan kepastian tentang kasus positif seperti pemeriksaan dengan "Polymerase Chain Reaction" (PCR), rapid test penting dilakukan untuk mengawasi dugaan kasus positif di tengah masyarakat. "Dengan pemeriksaan antibodi memang memiliki beberapa kekurangan, tapi ini sebagai upaya untuk melakukan pengawasan terhadap dugaan kasus positif," katanya. "Rapid test" yang dilakukan dengan menggunakan sampel darah tersebut, ditujukan untuk menindaklanjuti hasil penelusuran kontak. "Harapan kita bahwa kontak dekat dari kasus positif yang sudah terkonfirmasi dan kita rawat di rumah sakit bisa kita tindak lanjuti dengan penelusuran dan mencari kemungkinan adanya kasus positif di masyarakat," katanya.(gw/fin)

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


admin

Tentang Penulis

Sumber: