KPK Minta Kasus Jaksa Pinangki

KPK Minta Kasus Jaksa Pinangki

JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango mengatakan, Kejaksaan Agung selayaknya berinisiatif melimpahkan perkara suap yang menjerat Jaksa Pinangki Sirna Malasari ke KPK agar penanganannya lebih objektif. Meski demikian, ia menyatakan bukan berarti KPK akan mengambil alih kasus tersebut. Nawawi menuturkan, sejatinya KPK memiliki kewenangan untuk mengambil alih kasus yang tengah ditangani aparat penegak hukum lain. Hal itu tertuang dalam Pasal 10A UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Namun, ia berharap justru Kejaksaan Agung yang memiliki inisiatif untuk melimpahkan kasus tersebut kepada KPK. "Saya tidak berbicara dengan konsep pengambilalihan perkara yang memang juga menjadi kewenangan KPK sebagaimana ditentukan dalam pasal 10A UU nomor 19 Tahun 2019, tetapi lebih berharap pada inisiasi institusi-institusi tersebutlah yg mau 'menyerahkan' sendiri penanganan perkaranya kepada KPK," ujar Nawawi saat dikonfirmasi, Kamis (27/8). Nawawi menilai, inisiatif tersebut baik untuk menumbuhkan semangat integritas antarlembaga penegak hukum dalam memberantas korupsi. Selain itu, menurutnya, hal itu juga diyakini akan menumbuhkan kepercayaan publik terhadap proses penegakan hukum terutama dalam penanganan perkara skandal pelarian terpidana kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali Joko Tjandra. "Dan yang seperti itu sangat baik dalam semangat sinergitas dan koordinasi dan yang pasti akan lebih menumbuhkan kepercayaan publik pada obyektifnya penanganan perkara-perkara dimaksud," kata dia. Diketahui, Kejaksaan Agung sedang mengusut kasus dugaan suap terkait skandal Joko Tjandra yang menjerat mantan Kepala Sub-Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung, Pinangki Sirna Malasari. Tak hanya Kejaksaan Agung, dalam rentetan skandal Joko Tjandra, Bareskrim Polri juga sedang mengusut keterlibatan pejabat di internal Korps Bhayangkara. Bareskrim telah menetapkan mantan Kepala Biro Pengawasan (Korwas) PPNS Bareskrim, Brigjen Prasetijo Utomo dan mantan Kadiv Hubinter Polri, Irjen Napoleon Bonaparte sebagai tersangka penerima suap terkait surat jalan dan hapusnya nama Joko Tjandra dalam daftar red notice Interpol Polri. ICW sebelumnya mendesak KPK mengambil alih penanganan kasus tersebut. Apalagi, terdapat sejumlah indikasi yang menunjukkan ketidakseriusan Kejaksaan Agung dalam mengusut kasus itu. Belakangan, permintaan serupa disampaikan Komisi Kejaksaan (Komjak). Lembaga independen untuk mengawasi dan menilai kinerja dan etik perilaku para jaksa itu mengingatkan perlunya menjaga kepercayaan publik terutama terhadap jaksa yang disidik oleh aparat penegak hukum tempatnya bekerja. Menanggapi hal ini, Nawawi mengatakan, sejak awal mengambil sikap agar perkara-perkara yang melibatkan aparat penegak hukum, termasuk terkait skandal Joko Tjandra sebaiknya ditangani oleh KPK. Kasus-kasus tersebut memang menjadi domain kewenangan KPK sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 11 UU Nomor 19 Tahun 2019 Tentang KPK. Namun, kata Nawawi, semua berpulang kepada institusi penegak hukum lainnya untuk berinisiatif melimpahkan perkara itu atau tidak. Kalaupun Kejaksaan Agung memutuskan untuk tidak melimpahkan kasus Jaksa Pinangki, KPK bakal terus membangun semangat sinergitas. Lembaga antikorupsi juga masih memiliki kewenangan untuk mensupervisi kasus tersebut. "Yaitu mengawasi, meneliti dan menelaah semua perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani oleh instansi penegak hukum lainnya," kata dia. Sebelumnya, Komisi Kejaksaan (Komjak) menyarankan KPK menangani kasus Jaksa Pinangki guna menjaga kepercayaan publik terutama terhadap jaksa yang disidik oleh aparat penegak hukum tempatnya bekerja. Komjak mengingatkan agar prosesnya dapat berjalan transparan, objektif, dan akuntabel. "Kami juga menyarankan untuk menjaga public trust Kejaksaan supaya melibatkan lembaga penegak hukum independen seperti KPK. Sebab yang disidik adalah jaksa sehingga publik perlu diyakinkan prosesnya berjalan transparan, objektif, dan akuntabel," kata Ketua Komjak Barita Simanjuntak saat dihubungi, Selasa (25/8). Sedangkan, Komjak tidak memiliki kewenangan pro justitia maupun berisi penyidik sehingga tidak memiliki upaya paksa. Komjak adalah lembaga independen untuk pengawasan dan penilaian kinerja dan etik perilaku. Sementara KPK adalah lembaga independen di luar Kejaksaan dalam hal penyidikan pidana khusus pro justitia. Menanggapi pernyataan Nawawi, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono menegaskan tidak ada istilah inisiatif menyerahkan kasus. Menurutnya, Kejagung sudah melakukan koordinasi dan supervisi dengan KPK untuk kasus Pinangki. “Jadi tidak ada yang tadi dikatakan ada inisiatif menyerahkan, tapi mari kita kembali kepada aturan, kita sudah melakukan koordinasi dan supervisi,” ungkapnya. Dikatakannya, masing-masing institusi penegak hukum memiliki kewenangan dan sudah seharusnya saling mendukung. Lebih lanjut, ia pun menegaskan penanganan kasus akan dilakukan dengan transparan. “Kami harap semua masyarakat mengawal penanganan perkara ini. Kami akan transparan memberitahukan kepada publik,” tuturnya. Dia juga meminta agar masyarakat bersabar menunggu perkembangan kasus. Ia juga tak mempermasalahkan ada pihak yang menilai penanganan perkara tersebut terkesan lamban. Meski dalam pandangannya, penanganan perkara telah dilakukan dengan cepat. “Tanggal 4 (Agustus) diterima dari Pengawasan kalau tidak salah, tanggal 7 penyidikan, tanggal 11 menetapkan tersangka, tanggal 12 menahan,” ucap dia. “Kemudian hari ini tanggal 27 Agustus ada penetapan tersangka baru. Silakan kawan-kawan (menilai), kalau menurut kami luar biasa cepat,” sambungnya. Untuk diketahui, Jaksa Pinangki Sirna Malasari (PSM) resmi ditetapkan sebagai tersangka. Perempuan cantik itu diduga menerima hadiah senilai USD500 ribu terkait pengurusan fatwa di Mahkamah Agung (MA). Pinangki merupakan jaksa yang diduga pernah bertemu Joko Tjandra saat masih buron. Pertemuan itu diduga terjadi di Kuala Lumpur, Malaysia. Bidang Pengawasan Kejagung telah menyatakan Pinangki terbukti melanggar disiplin. Dia diketahui pergi ke luar negeri tanpa izin sebanyak sembilan kali pada 2019. Negara tujuan Pinangki dalam perjalanan tanpa izin tersebut adalah Singapura dan Malaysia. Diduga, salah satunya bertemu Joko Tjandra. Selanjutnya, Pinangki diberi hukuman disiplin. Ia dicopot dari jabatannya sebagai Kepala Sub-Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan. (riz/gw/fin)

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


admin

Tentang Penulis

Sumber: