69 Petahana Melanggar Protokol Kesehatan Covid-19

69 Petahana Melanggar Protokol Kesehatan Covid-19

JAKARTA - Kecurigaan Mendagri Tito Karnavian bahwa petahana tahu aturan protokol kesehatan COVID-19, namun sengaja melanggar, bisa jadi benar. Buktinya, hingga Rabu (9/9), terdapat 69 petahana yang terbukti melanggar. Hanya empat petahana yang patuh. DPR pun mengusulkan adanya sanksi berupa diskualifikasi dari kepesertaan Pilkada. Tito meminta pasangan calon Pilkada untuk membuat pakta integritas mematuhi protokol COVID-19. Pihak penyelenggara dan pengawas pemilu harus secepatnya memanggil partai politik pengusung pasangan calon di Pilkada agar taat protokol kesehatan. "Kami sudah sampaikan kepada stakeholders yang ada di daerah agar KPU, Bawaslu sesegera mungkin mengundang partai politik yang sudah mendaftar. Tolong disampaikan soal PKPU. Forkompinda juga hadir. Agar mereka mengerti. Termasuik Kasatpol PP sebagai unsur penegak juga," jelas Tito di Kemenkopolhukam, Jakarta, Rabu (9/9).

BACA JUGA: KemenkopUKM dan KPK Sepakat Banpres Produkif Harus Akuntabel, Transparan dan Tepat Sasaran

Selain itu, Polri dan BIN serta jajarannya di tingkat daerah diminta melakukan koordinasi. "Kami mendorong izin ke Menkopolhukam agar para kontestan dan paslon membuat pakta integritas," imbuh mantan Kapolri ini. Pakta integritas dinilai sangat penting. Sebab, masih banyak petahana yang melanggar protokol kesehatan. "Petahana yang melanggar protokol kesehatan itu ada 69 orang. Ada gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota. Kemendagri sudah memberi teguran keras," kata Kasubdit Wilayah IV Direktorat Fasilitasi Kepala Daerah dan DPRD Kemendagri, Saydiman Marto dalam sebuah diskusi secara virtual di Jakarta, Rabu (9/9). Menurutnya, pelanggaran protokol kesehatan COVID-19 tersebut sebagian besar terjadi saat pendaftaran bakal pasangan calon kepala daerah ke KPU daerah. Hanya empat petahana yang patuh dengan tidak menimbulkan kerumunan massa pada saat pendaftaran. Mereka adalah Bupati Gorontalo, Bupati Luwu Utara, Wakil Wali Kota Ternate, dan Wakil Wali Kota Denpasar.

BACA JUGA: Umar Hasibuan Anggap Pantas Arteria Dahlan Arogan Sebab Kakeknya Pendiri PKI

"Ada kepala daerah petahana yang memberitahukan kepada pendukungnya untuk tidak melakukan konvoi atau kerumunan massa. Yang patuh diapresiasi. Yang melanggar diberi sanksi," jelasnya. Hal senada disampaikan Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Otda) Kemendagri, Akmal Malik. Dia mengatakan sedang mengkaji mekanisme sanksi kepada para petahana pelanggar protokol kesehatan. Salah satunya penundaan pelantikan apabila dinyatakan menang pada Pilkada Serentak Tahun 2020. Pengaturan sanksi penundaan pelantikan tersebut didasarkan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.

BACA JUGA: Awas! Langgar Protokol Kesehatan pada Tahapan Pilkada Bisa Dipidana

"Ada beberapa opsi yang dikaji. Misalnya diangkat penjabat sementara yang ditunjuk dari pusat. Ini jika para pelanggar menang, maka ditunda dulu pelantikannya. Bisa tiga sampai enam bulan. Disekolahkan dulu biar taat aturan," tegas Akmal. Dia menyesalkan banyaknya petahana yang melanggar protokol kesehatan COVID-19. Seharusnya, lanjut Akmal, kepala daerah dapat memberikan contoh kepada masyarakat untuk disiplin menerapkan protokol kesehatan COVID-19. "Semestinya itu tidak terjadi. Para petahana ini jelas tahu aturannya. Tetapi, masih melanggar juga. Karena itu, kami sedang siapkan opsi sanksi bagi petahana yang terbukti melakukan pelanggaran," paparnya. Terkait hal itu, Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Saan Mustopa setuju ada sanksi bagi petahana pelanggar. Pemerintah dan penyelenggara Pilkada harus tegas dan berani menerapkan aturan. Bila perlu diskualifikasi dari kepesertaan Pilkada.

BACA JUGA: Dukung Pemulihan Ekonomi Nasional, LPDB-KUMKM Akan Aktif Jemput Bola

"Kami tidak ingin Pilkada menjadi klaster baru penyebaran COVID-19. Kemendagri sudah banyak memberikan peringatan. Mulai dari peringatan tertulis, peringatan keras. Kalau sudah diberikan peringatan dan masih tidak patuh protokol kesehatan, bisa saja didiskualifikasi. Karena itu terkait PKPU," kata Saan di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (9/9). "Kita kan punya syarat bahwa Pilkada dilakukan di bulan Desember 2020. Syarat mutlaknya itu kan kepatuhan terhadap protokol kesehatan karena kita nggak mau Pilkada menjadi klaster baru," imbuhnya. Saan meminta Kemendagri mengantisipasi sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan sebelum calon kepala daerah tersebut terpilih. Dia sepakat dengan opsi yang akan diambil untuk menunda pelantikan 3 hingga 6 bulan. "Yang terpenting, jangan sampai mengganggu jalannya pemerintahan daerah. , Karena sudah ada calon terpilih, masa jabatannya habis, tinggal dilantik saja. Kalau mau diberikan sanksi ya sebelum mereka terpilih. Mendagri harus mengantisipasi. Sebelum mereka terpilih itu sudah harus diperingatkan. Jangan sudah terpilih baru dikasih sanksi. Misalnya didiskualifikasi setelah terpilih ada masalah baru lagi," paparnya. Penyelenggara pemilu juga diminta berkaca dari proses pendaftaran calon kepala daerah ke KPU pada 4-6 September 2020 lalu. Saat itu, pendaftaran paslon banyak menimbulkan kerumunan massa. Politisi Partai NasDem itu juga memprediksi ada 3 tahapan yang berpotensi menimbulkan kerumunan serupa. "Ada 3 tahapan yang menurut saya berpotensi ada kerumunan massa. Yaitu saat pengundian nomor urut. Bbiasanya paslon ini bawa pendukung. Kedua Kemudia, kampanye. Lalu, saat pemungutan suara. Potensi pelanggaran protokol kesehatan COVID ini yang harus diwaspadai dan diantisipasi," ucapnya. Komisi II DPR, terang Saan, pada Kamis (10/9), juga menjadwalkan rapat bersama Kemendagri, KPU, dan Bawaslu. Agendanya evaluasi pelanggaran protokol kesehatan yang banyak ditemukan saat tahapan Pilkada.(rh/fin)

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


admin

Tentang Penulis

Sumber: