Bentuk Tim Internal Usut Nurhadi

Bentuk Tim Internal Usut Nurhadi

JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Lokataru Foundation mendesak Ketua Mahkamah Agung (MA) Muhammad Syarifuddin membentuk tim investigasi internal terkait kasus dugaan suap dan gratifikasi mantan Sekretaris MA Nurhadi. Pembentukan tim investigasi itu bertujuan untuk menyelidiki dugaan keterlibatan oknum lain. Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan, Nurhadi ditetapkan tersangka oleh KPK menyangkut dugaan suap dan gratifikasi terkait penganganan perkara di MA. Ia menambahkan, terdapat sejumlah perkara yang dijadikan bancakan oleh Nurhadi. Menurut Kurnia, tugas dan fungsi sekretariat MA tidak bersentuhan langsung dengan penanganan perkara sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2015 tentang Sekretariat Mahkamah Agung. Atas hal itu, ia menyatakan, ICW dan Lokataru menduga terdapat oknum lain yang terlibat dalam kasus tersebut. "Tentu hal ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana Nurhadi bisa mengatur beberapa perkara di MA? apakah ada oknum lain yang memiliki kewenangan untuk memutus perkara juga terlibat?," ujar Kurnia dalam keterangan tertulis, Senin (21/9). Kurnia menerangkan, ICW dan Lokataru telah melayangkan surat ke MA menyangkut penanganan perkara Nurhadi sebanyak dua kali pada periode Juli hingga September 2020. Akan tetapi, kata dia, MA sama sekali tidak merespons surat tersebut. Atas hal itu, ia menilai, ada indikasi MA menutup diri dari koreksi publik dalam penanganan perkara Nurhadi. Padahal, menurutnya, kasus Nurhadi telah mengundang perhatian publik. "Sebab korupsi yang dilakukan oleh Nurhadi langsung bersentuhan dengan penegakan hukum dan dengan jumlah besar, mencapai Rp46 miliar," tutur Kurnia. Selain itu, menurut Kurnia, ICW dan Lokataru mengapresiasi kerja cepat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menangani perkara Nurhadi. Ia menuturkan, lembaga antirasuah telah melakukan gelar perkara terkait tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang kemungkinan dilakukan Nurhadi. Namun, kata dia, kinerja cepat KPK itu tak dibarengi dengan kerja sama yang baik dari MA untuk membongkar praktik korupsi ini secara menyeluruh. Alih-alih berkoordinasi dengan baik, MA terlihat resisten terhadap para hakim agungnya yang dipanggil oleh KPK guna diperiksa sebagai saksi dengan menjadikan Surat Edaran (SE) MA Nomor 4 Tahun 2002 sebagai dalih. SE MA tersebut mengatur tentang pejabat pengadilan yang melaksanakan tugas yustisial tidak dapat diperiksa, baik sebagai saksi atau tersangka, kecuali yang ditentukan oleh undang-undang. Padahal, menurut Kurnia, dalam penegakan hukum dikenal asas equality before the law atau setiap orang tidak berhak mendapat perlakuan khusus. "Tak hanya itu, Pasal 112 KUHAP juga telah menegaskan bahwa penyidik dapat memanggil saksi maupun tersangka dan kedua subjek tersebut wajib hukumnya memenuhi panggilan penegak hukum. Jadi tidak tepat jika dalih SEMA digunakan untuk menghindari proses pemeriksaan di KPK," ucapnya. Atas hal itu, Kurnia menegaskan, ICW dan Lokataru juga mendesak MA agar kooperatif dan bekerjasama dengan KPK. Hal ini diperlukan guna membongkar tuntas perkara korupsi di internal MA. Terpisah, Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro mengatakan pembentukan tim internal tidak perlu. Sebab, ia beralasan, perkara Nurhadi telah ditangani oleh aparat penegak hukum dalam hal ini KPK. "Menurut MA, ikut menyelidik internal dan membentuk tim di MA terkait kasus Pak Nurhadi, kami rasa tidak perlu. Sebab, perkara Nurhadi sudah ditangani aparat penegak hukum dalam hal ini KPK," kata Andi. Apalagi, lanjut Andi, saat ini Nurhadi sudah tidak lagi berstatus sebagai pejabat di MA. Alhasil, pembentukan tim penyelidik internal oleh Ketua MA, menurut dia, tidak diperlukan. Untuk itu, kata Andi, sebaiknya semua pihak menunggu perkembangan proses hukum Nurhadi dkk. yang kini tengah berjalan di KPK. "Apalagi pak Nurhadi bukan lagi berstatus sebagai pejabat/pegawai di MA maka sebaiknya kita tunggu saja perkembangan dari proses hukum yang kini sedang berjalan di tangani KPK," katanya. Dalam kasus ini, Nurhadi telah ditetapkan sebagai tersangka suap dan gratifikasi terkait perkara di Mahkamah Agung tahun 2011-2016. Selain Nurhadi KPK telah menetapkan Rezky Herbiyono (RHE) swasta atau menantu Nurhadi dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto (HSO) sebagai tersangka. Nurhadi dan Rezky ditetapkan sebagai tersangka penerima suap dan gratifikasi senilai Rp46 miliar terkait pengurusan sejumlah perkara di MA. Hiendra ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap. Penerimaan suap terkait pengurusan perkara perdata PT MIT vs PT Kawasan Berikat Nusantara (Persero) kurang lebih sebesar Rp14 miliar, perkara perdata sengketa saham di PT MIT kurang lebih sebesar Rp33,1 miliar, dan gratifikasi terkait perkara di pengadilan kurang lebih Rp12,9 miliar. Akumulasi suap yang diduga diterima kurang lebih sebesar Rp46 miliar. (riz/gw/fin)

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


admin

Tentang Penulis

Sumber: