Koalisi Masyarakat Sipil: SKB Pelarangan FPI Langgar Kebebasan Berkumpul dan Berserikat

Koalisi Masyarakat Sipil: SKB Pelarangan FPI Langgar Kebebasan Berkumpul dan Berserikat

JAKARTA - Sejumlah organisasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil menyebut Surat Keputusan Bersama (SKB) enam menteri dan kepala lembaga soal pelarangan Front Pembela Islam (FPI) bertentangan dengan kebebasan berkumpul dan berserikat. UU Nomor 16 Tahun 2017 tentang Ormas yang menjadi dasar SKB FPI dinilai secara konseptual bermasalah secara perspektif negara hukum. "UU Ormas memungkinkan pemerintah untuk membubarkan organisasi secara sepihak tanpa melalui proses peradilan (due process of law)," bunyi keterangan koalisi yang diterima Kamis (31/12). Koalisi tersebut terdiri dari KontraS, Institute Perempuan, LBH Masyarakat, LBH Pers, PBHI, PSHK, SAFENET, YLBHI, dan YPII. Koalisi menyatakan, FPI yang disebut tidak memperpanjang atau tidak memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT) serta dinyatakan secara de jure bubar, tidaklah tepat. Pasalnya, putusan MK Nomor 82/PUU-XI/2013 telah menyatakan Pasal 16 ayat (3) dan Pasal 18 UU Ormas yang mewajibkan organisasi memiliki SKT bertentangan dengan UUD 1945. "Konsekuensinya, organisasi yang tidak memiliki SKT dikategorikan sebagai organisasi yang tidak terdaftar, bukan dinyatakan atau dianggap bubar secara hukum," demikian Koalisi Masyarakat Sipil. Maka dari itu, koalisi menekankan pelarangan terhadap kegiatan serta penggunaan simbol maupun atribut FPI tidak memiliki dasar hukum. Sebab, FPI tidak dapat dinyatakan bubar secara de jure dengan alasan tidak memperpanjang SKT. Pasal 59 UU Ormas, kata Koalisi, hanya melarang kegiatan yang pada intinya mengganggu ketertiban umum dan/atau melanggar peraturan perundang-undangan. "UU Ormas tidak melarang suatu organisasi kemasyarakatan untuk berkegiatan sepanjang tidak melanggar ketentuan Pasal 59 tersebut," kata mereka. Lebih lanjut koalisi menambabkan, penegak hukum perlu menindak para anggota FPI yang selama ini melakukan kegiatan yang melanggar peraturan perundang-undangan, bukannya terkesan membiarkan serta menunggu pemerintah menetapkan pembubaran organisasi tersebut. Selain itu, Pasal 59 ayat (4) UU Ormas melarang penggunaan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi separatis atau organisasi terlarang. Namun, UU Ormas sama sekali tidak memberikan definisi ataupun penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan organisasi terlarang. "Yang secara de Facto dapat menimbulkan mispersepsi atau pemahaman yang rancu bagi masyarakat luas," sambung koalisi. Koalisi berpandangan, sejak UU Ormas disahkan, prosedur pembubaran ormas dilakukan secara sepihak oleh pemerintah dan tidak lagi melalui mekanisme peradilan. Penggunaan UU Ormas untuk membubarkan organisasi secara sepihak, menurut mereka, jelas bertentangan dengan prinsip negara hukum yang mengutamakan pelindungan hak-hak warga dalam hal ini kebebasan berkumpul dan berserikat. "Seharusnya, mekanisme penjatuhan sanksi termasuk berupa pembubaran terhadap organisasi, dilakukan melalui mekanisme peradilan. Hal ini mengingat bahwa, pada dasarnya, setiap kesalahan subjek hukum harus dibuktikan terlebih dahulu di hadapan pengadilan sebelum subjek hukum tersebut dijatuhi sanksi," tutur koalisi. Koalisi menilai, organisasi yang melakukan kekerasan, vigilantisme, maupun provokasi kebencian, perlu diatasi untuk setiap tindakannya dengan tegas dan konsisten. "Pembubaran seperti ini secara jangka panjang tidak efektif untuk mengatasi kekerasan sipil, provokasi kebencian dan sebagainya, bahkan menggerogoti sendi-sendi demokrasi Indonesia. Mungkin justru akan membuat bom waktu," ucap koalisi. (riz/fin)

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


admin

Tentang Penulis

Sumber: