Telaga Wan An

Telaga Wan An

--

Saya tidak melihatnya lagi, pun sisa-sisanya. Semua rumah sudah terbuat dari bahan-bahan modern. Hasil pabrik. Bata sudah mahal. Juga berat. Kian sedikit yang membuat bata: mau dibakar dengan apa. Tidak mungkin lagi dapat kayu bakar. Izin menebang kayu tidak mudah. Pakai minyak solar lebih mahal. 

Waktu remaja saya sering ikut membuat bata. Di desa. Termasuk untuk mengganti dinding rumah kami yang dari bambu. Saya bisa mengaduk lumpur, mencetaknya, menjemur bata setengah kering dengan teknik menumpuknya yang bersilang-silang, lalu menumpuk bata kering dengan cara khusus: agar ada lubang untuk kayu bakar. Lalu menimbunnya dengan kayu. Harus cukup untuk membakar nonstop 2 x 24 jam. Sampai bata itu berwarna merah. Matang.

Bata sangat rakus kayu. Pepohonan habis. Itulah masa lalu.

Dalam perjalanan ini saya ditemani seorang wanita, insinyur sipil, rancang bangun, dan seorang lulusan teknik elektro. Saya bisa bertanya apa saja. 

''Apakah hilangnya arsitektur Tiongkok di pedesaan ini tidak akan mengubah budaya Tiongkok?'' tanya saya.

''Kami harus berubah. Tidak mungkin lagi mempertahankan bentuk bangunan lama di pedesaan. Mahal. Rumit. Membangunnya lama,'' kata yang teknik sipil.

Saya tahu Tiongkok berubah cepat. Tapi menyusuri pedesaan kali ini saya tetap berdecak: pemerataan kemakmuran tidak hanya ada di kampanye. 

Keinginan berubah juga merata. (*)

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


Afdal Namakule

Tentang Penulis

Sumber: