Jaga Dara

Jaga Dara

--

Lalu pajaknya hanya sekian persennya lagi dari laba itu. Jatuhnya sangat jauh dari angka transaksi. Tapi bisa mengejar Rp 20 miliar juga lumayan.

Memang seharusnya Jaga Dara mengejar pajak ekspor/impornya. Agar bisa diambil bagian negara 10 persen dari omzet. Ini baru besar. Dan itu sudah dilakukan Jaga Dara. Sampai masuk ke ranah hukum. Dan ''kalah'' oleh hakim di tingkat PK.

Bisa saja hakim memang harus membebaskannya. Lihatlah persoalan intinya: mengapa ekspor/impor emas tersebut dibebaskan dari bea masuk atau bea keluar.

Eksporter/importernya merasa memang tidak harus dipungut apa pun. Justru karena ada aturan bebas bea itulah pengusaha tadi melakukan ekspor/impor. Itu sudah sesuai dengan aturan pemerintah: ekspor emas dalam bentuk perhiasan tidak dipungut bea.

Mengapa Jaga Dara ngotot membawa temuan ini ke ranah hukum? Itu karena Jaga Dara berpendapat yang diekspor itu emas batangan. Harus bayar bea.

Sebaliknya, pedagang mengatakan emas yang diekspor itu emas perhiasan. Bebas bea.

Rupanya bentuk emas tersebut sudah bukan batangan tapi juga masih sulit untuk dikenal sebagai perhiasan. Maka definisi apa itu emas batangan dan apa itu emas perhiasan menjadi penting di pengadilan.

Emas tersebut memang sudah bukan emas batangan, tapi juga belum bisa disebut perhiasan. Bentuknya sudah gelang, tapi gelang wungkul. Satu gelang bisa seperempat kilogram. Cara membuat gelang itu pun cukup mekanis: emas dicairkan, dituangkan ke cetakan, jadilah gelang.

Dan pengadilan memutuskan itu perhiasan. Bebas bea.

Selesai. 

Transaksinya memang  mencurigakan. PPATK harus mencatatnya. Tapi pedagang emasnya sudah bebas, bisa melenggang dengan tenang. Tinggal seorang dara seperti Sri Mulyani yang kelimpungan tanpa ada yang menjaga. (*)

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


Afdal Namakule

Tentang Penulis

Sumber:

Berita Terkait

Nilai Nol

1 hari

Zeni

5 hari

Hari Raya

1 minggu

Madinah Kafe

1 minggu