Penyebab Orang Menjadi NOVID atau Kebal akan COVID kata Guru Besar UEU

Penyebab Orang Menjadi NOVID atau Kebal akan COVID kata Guru Besar UEU

NOVID, Kebal COVID, Image oleh Алина Осипова dari Pixabay --

JAKARTA, FIN.CO.ID - Di artikel FIN sebelumnya, dijelaskan soal apa itu NOVID, atau orang yang tidak pernah terpapar, atau menyadari bahwa dirinya kena COVID.

Kini, dijelaskan tentang apa yang menyebabkan seseorang bisa menjadi NOVID, atau kebal, atau tidak menyadari keberadaan COVID

Menurut Gurubesar Prodi Farmasi FIKES Universitas Esa Unggul (UEU) Jakarta, Prof. Maksum Radji, ini ada hubungannya dengan faktor genetik,

BACA JUGA:Makin Ngeri, Covid-19 Hari Melonjak 5.172 Kasus, Jumlah Pasien Meninggal Bertambah Lagi
 
Dalam sebuah keterangan, Prof. Maksum menjelaskan tentang hubungan antara faktor genetik seseorang dengan NOVID.

Prof Maksum mengungkapkan bahwa pada salah satu laporan terbaru yang dilansir laman https://www.abc.net.au/news/2022 tanggal 11 November 2022 yang lalu, para peneliti dari School of Biomedical Sciences and Pharmacy, University of Newcastle, menyebutkan bahwa pengaruh variasi genetik individu atau polimorfisme terhadap risiko penyakit biasanya sangat kecil.


Guru Besar UEU Prof Maksum--

Jadi untuk mengidentifikasi pengaruh genetik terhadap NOVID ini membutuhkan lebih banyak penelitian, yang melibatkan lebih banyak subjek yang terdiri dari berbagai ras dan suku.

“Dalam salah satu studi, para peneliti membandingkan antara genom subjek yang terdiri dari sekitar 50.000 orang penderita COVID-19 dengan genom dari sekitar 2 juta orang yang diketahui tidak terkena infeksi atau NOVID".

BACA JUGA:Siap-Siap! Menkes Sebut Kasus COVID-19 di Indonesia Memuncak Dalam Waktu Dekat

" Para peneliti mengidentifikasi lokus genom tertentu yang terkait dengan risiko tertular COVID-19 dengan tingkat keparahan penyakit. Penelitian ini membuktikan bahwa sebagaimana jenis penyakit lainnya, gen tertentu memang mempengaruhi risiko terinfeksi COVID-19”, ungkap Prof. Maksum.

“Hasil penelitian ini sangat penting untuk lebih memahami aspek biologi molekuler dari patogenenis COVID-19 dan juga untuk menjawab pertanyaan siapa yang mungkin berisiko terkena penyakit parah atau long COVID dan membantu pengembangan terapi baru”, imbuhnya.

Prof. Maksum menambahkan bahwa berdasarkan hasil penelitian lainnya yang dipublikasi pada Jurnal Nature yang terbit pada 7 Maret 2022 yang lalu disebutkan bahwa tim peneliti telah mengidentifikasi 16 jenis gen pada pasien COVID-19 yang kritis.

Para peneliti menganalisis sekitar 56.000 sampel untuk membandingkan genom pasien COVID-19. Berdasarkan analisis genetik, peneliti menemukan perbedaan di antara 23 gen pada pasien dengan kondisi kritis dengan pasien COVID-19 tanpa gejala atau dengan gejala ringan.

BACA JUGA:Vaksin Bivalen Dianggap Mampu Tanggulangi Covid-19 Varian Lama dan Omicron, Begini Penjelasannya

Temuan ini merupakan hasil perbandingan antara 7.491 pasien Covid-19 kritis dengan kelompok kontrol yang terdiri dari 48.400 orang.

“Variasi genetik yang ditemukan pada 16 jenis gen ini dapat memengaruhi risiko keparahan dan perawatan intensif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa seseorang yang mengalami infeksi COVID-19 parah, mereka memiliki variasi genetik yang membuat tubuhnya rentan terhadap peradangan, pembekuan darah, serta ketidakmampuan tubuh pasien untuk mengatasi replikasi virus di dalam tubuhnya” ungkapnya.

Prof. Maksum mengatakan bahwa berdasarkan hasil study para peneliti mengungkapkan bahwa terdapat beberapa kelompok manusia yang digolongkan sebagai NOVID yaitu (i).
Adanya variasi genetik. Sebagian kecil manusia dilahirkan telah memiliki gen spesifik yang kebal terhadap virus, termasuk virus yang menyebabkan  COVID-19; (ii). Kelompok manusia yang kebal karena pernah terinfeksi virus yang sekerabat sebelumnya; (iii).

Kelompok yang pernah terinfeksi namun tidak menunjukkan gejala; dan (iv). Kelompok yang memiliki kebiasaan hidup sehat dan sangat berhati-hati.

BACA JUGA:Pemerintah Terus Genjot Vaksinasi COVID, Terutama Kelompok Lansia

Hubungan sistem kekebalan tubuh dengan NOVID.
Menjawab pertanyaan bagaimana kaitan antara sistem kekebalan tubuh dengan NOVID, Prof. Maksum menjelaskan bahwa sistem imunitas setiap orang berbeda-beda.

Bagaimana sistem kekebalan merespons infeksi tertentu dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor genetik, jenis kelamin, usia, pola makan, pola tidur, tingkat stres, riwayat penyakit penyerta, obat, status vaksinasi, dan tingkat paparan virus.

“Status sistem kekebalan tubuh akan mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap penyakit infeksi. Sehingga bagi orang yang rentan terhadap COVID-19 adalah mereka yang memiliki kekebalan kurang efektif, terutama karena memiliki penyakit penyerta yang kronis, para lansia, ataupun mereka yang sistem kekebalannya menurun dan tidak berfungsi dengan baik” paparnya.

“Faktor lainnya”, menurut Prof. Maksum, “adalah faktor virus SARS-CoV-2 itu sendiri. Virus ini sejak kemunculannya terus bermutasi menghasilkan varian-variannya yang lebih menular dan lebih virulen. Demikian pula dengan subvarian Omicron baru yang terus bermunculan. Adanya berbagai mutasi, terutama pada protein spike (S) virus berpengaruh terhadap interaksi antigen antibodi dalam tubuh seseorang. Saat ini telah terdeteksi sub-varian Omicron yang jauh lebih menular diantaranya adalah sub-varian Omicron BQ.1, BQ.1.1, XBB, dan XBB.1, yang semuanya berasal dari varian Omicron”.

“Apakah antibodi yang terdapat dalam tubuh seseorang mampu mengenali dan mengikat antigen virus SARS-COV-2 dengan berbagai varian dan sub-variannya akan sangat berpengaruh pada perlindungan dan kerentanan sistem kekebalannya”, paparnya.

Prof. Maksum juga menambahkan bahwa berdasarkan berbagai penelitian, telah diketahui bahwa SARS-CoV-2 sangat mahir berevolusi untuk menghasilkan varian virus yang dapat menghindari sistem kekebakan tubuh seseorang.

Selain itu, perlindungan kadar antibodi terhadap SARS-COV-2 yang telah terbentuk mengalami penurunan setelah beberapa bulan jika tidak dilakukan vaksinasi ulang berikutnya atau booster vaksin.

Dengan demikian ada kemungkinan beberapa orang tertentu yang lebih kecil kemungkinannya terkena COVID-19 karena kekuatan sistem kekebalan mereka.

Upaya menghadapi lonjakan sub-varian Omicron XBB di Indonesia.

Prof. Maksum menjelaskan bahwa pada dasarnya upaya pencegahan untuk semua varian dan subvarian SARS-CoV-2 adalah sama, yaitu penerapan protokol kesehatan yang baik dan program vaksinasi.

Oleh karena itu, selama kita menerapkan protokol kesehatan dengan baik kita tidak perlu terlalu khawatir terhadap ancaman transmisi Omicron sub-varian XBB maupun varian lainnya.

Apabila kita telah mendapatkan vaksinasi COVID-19 dosis lengkap dan dosis booster, maka risikonya akan lebih ringan ketika terinfeksi.

Prof. Maksum juga mengharapkan agar Kementerian Kesehatan terus menggencarkan vaksin booster, termasuk bagi mereka yang telah menerima vaksin booster pertama, mengingat bahwa penerima booster pertama ini telah dilakukan sekitar 10 bulan yang lalu, sehingga kemungkinan besar sudah terjadi penurunan kadar antibodi netralisasinya.

“Bagi para NOVID, mari kita hadapi COVID-19 ini dengan bijak, karena pandemi belum benar-benar usai. Sebisa mungkin, tetaplah menerapkan protokol kesehatan, terutama jika berada di kerumunan dan tempat umum. Walaupun kita merasa tergolong orang yang NOVID, dengan kita menjaga diri kita, berarti kita juga telah turut menjaga orang-orang di sekitar kita, terutama para Lansia dengan komorbid dan orang yang mungkin lebih rentan daripada kita.

Bagi sebagian besar NOVID, sebetulnya merupakan kombinasi dari tingkat sistem kekebalan yang kuat dan gaya hidup bersih dan sehat.

Perlu kita syukuri bahwa kita termasuk NOVID, yang bebas dari COVID selama ini. Semoga Allah senantiasa melindungi kita semua”, tutup Prof. Maksum mengahiri perbincangan ini.

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


Makruf

Tentang Penulis

Sumber: