DPR Dukung Kenaikan Cukai Rokok, Ini Besarannya

DPR Dukung Kenaikan Cukai Rokok, Ini Besarannya

Cukai Rokok Naik, Image oleh Gerd Altmann dari Pixabay--

JAKARTA, FIN.CO.ID - Rencana pemerintah menaikan cukai rokok mendapatkan dukungan lima dari sembilan fraksi di Komisi XI DPR RI.

Untuk menghindari dampak rentetan yang tidak diinginkan, kenaikan cukai rokok yang disepakati adalah sebesar 7 persen.

Tujuan dari menaikan cukai rokok ini adalah untuk memperkuat nggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

BACA JUGA:Cukai Rokok Naik, Pembeli Vape Melonjak

"Kenaikan cukai rokok memang dibutuhkan untuk memperkuat penerimaan dalam APBN, tapi kenaikan tersebut perlu dibatasi," kata Anggota DPR Amir Uskara dalam sebuah keterangan persnya.

Dalam penjelasannya, Amir Uskara mengatakan bahwa ada alasan mengapa kenaikan cukai rokok ini ada diangka 7 persen.

Menurut dia, kenaikan cukai terlampau tinggi akan berdampak signifikan. Kesempatan kerja di sektor industri hasil tembakau juga akan terkena imbas kebijakan itu.

Tidak hanya imbas terhadap petani, mereka yang di sektor industri pengolahan tembakau, hingga para pedagang kaki lima akan juga merasakan dampaknya.

"Karena itu, untuk tahun 2023 disarankan batas maksimum kenaikan cukai rokok adalah di kisaran tujuh persen," sambung Amir.

Amir Uskara juga menambahkan bahwa tidak relevan apabila tujuan menaikan cukai rokok ini, dikaitkan dengan upaya menurunkan prevalensi perokok.

Menurut dia, data yang ada berdasarkan hasil riset justru kebalikannya.

Berdasarkan riset Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 yang diluncurkan Kementerian Kesehatan, jumlah perokok dewasa bertambah 8,8 juta orang, dari 60,3 juta di 2011 menjadi 69,1 juta perokok di 2021.

Sementara itu, selama periode 2011-2021, cukai rokok telah mengalami kenaikan cukup tinggi.

"Jadi, pesan cukai rokok untuk mengendalikan konsumsi rokok pun makin jauh dari esensi awal cukai sebenarnya," tutupnya.

Regulasi Cukai Rokok

Menurut Ketua Koalisi Indonesia Bebas TAR (KIB TAR) Ariyo Bimmo, regulasi rokok tembakau alternatif dan rokok konvensional perlu dipisahkan.

Ariyo berharap bahwa dengan regulasi itu, masyarakat memiliki opsi yang lebih luas untuk mendapat produk tembakau yang lebih rendah risiko.

Dengan begitu, masyarakat akan punya kesempatan untuk meningkatkan taraf kesehatan dan mengurangi pravalensi merokok di masa depan.

“Aturan hukum yang tepat untuk mengatur keberadaan produk tembakau alternatif harus mempertimbangkan profil risiko dan konsep pengurangan bahaya yang diterapkan, di mana produk tembakau alternatif memiliki risiko yang lebih rendah dibandingkan rokok,” kata Ariyo Bimmo dalam sebuah keterangan.

Dalam penjelasannya, Ariyo mengatakan bahwa produk tembakau alternatif, seperti rokok elektrik, produk tembakau yang dipanaskan, dan kantong nikotin, telah terbukti lewat berbagai kajian ilmiah, punya risiko kesehatan yang lebih rendah 90 persen, jika dibandingkan rokok konvensional.

Ia juga menekankan bahwa penggunaan rokok alternatif ini, dapat mengurangi risiko kesehatan yang tidak diinginkan.

Mengapa demikian, karena menurut dia, menggunakan sistem pemanasan, rokok alterntif dianggap tidak mengandung zat kimir berbaya, dalam hal ini TAR.

Sistem pemanasan ini ditemukan pada rokok elektrik atau vape, dan produk tembakau yang dipanaskan.
“Karena profil risikonya berbeda, semestinya produk tersebut memiliki aturan yang terpisah dari rokok,” lanjutnya.

Lantaran belum adanya regulasi khusus bagi produk tembakau alternatif, Bimmo khawatir perokok dewasa akan kesulitan untuk memperoleh informasi yang akurat terhadap produk tersebut. Ditambah lagi saat ini masih banyak informasi yang keliru di publik mengenai produk ini yang dianggap memiliki bahaya yang sama rokok bagi kesehatan.

“Menyamakan aturan maupun menggolongkan produk tembakau alternatif sebagai produk rokok hanya akan mengakibatkan perokok dewasa tidak mendapatkan kesempatan untuk memperoleh perbaikan kesehatan melalui penggunaan produk lebih rendah risiko,” ucapnya.

Tanpa regulasi khusus, Bimmo meneruskan produk tembakau alternatif akan tidak tepat sasaran dan rentan disalahgunakan terutama oleh anak-anak di bawah usia 18 tahun ke atas dan non-perokok. Padahal, produk itu dirancang sebagai opsi untuk membantu perokok dewasa yang kesulitan untuk berhenti merokok.

Sebaliknya, jika produk tembakau alternatif ini diregulasi secara terpisah yang didasari oleh hasil kajian ilmiah, maka tujuan penggunaannya menjadi tepat sasaran serta kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan dapat dicegah.

“Pengguna juga dapat memperoleh informasi yang akurat berikut semua fakta ilmiah tentang risiko produk yang digunakan,” tuturnya.

Untuk menghadirkan regulasi tersebut, menurut Bimmo, perlu adanya kajian ilmiah yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan, mulai dari kementerian/lembaga, pelaku industri, akademisi, praktisi kesehatan hingga konsumen. Harapannya, poin-poin aturan dalam regulasi tersebut komprehensif sesuai dengan hasil riset.

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


Makruf

Tentang Penulis

Sumber: