Opini . 17/11/2025, 07:00 WIB
KABAR duka kembali mengguncang dunia pendidikan kita. Muhamad Hisyam (13), siswa SMPN 19 Ciater, Serpong, harus berpulang setelah sepekan berjuang melawan luka akibat perundungan yang ia alami di lingkungan sekolahnya. Hisyam menambah deret panjang catatan kelam dunia pendidikan yang gagal melindungi anak didiknya dari teror psikologis dan fisik bernama bullying.
Ironisnya, kasus tragis di Tangsel ini terjadi hanya berselang beberapa saat setelah insiden ledakan di SMAN 72 Jakarta, yang juga diduga berakar dari kasus perundungan tak tertangani. Dua peristiwa ini, satu berakhir kematian dan satu berupa tindakan ekstrem, menjadi penanda yang sangat jelas: lingkungan sekolah di Indonesia kini berada dalam status darurat perlindungan siswa.
Perundungan, yang kerap dianggap sekadar 'candaan' atau 'kenakalan biasa', telah terbukti menjadi bom waktu yang mematikan. Konselor Profesional UNNES, Muslikah, tepat menggambarkan bahwa dampak perundungan adalah luka yang terakumulasi perlahan, melewati fase luka emosional, internalisasi negatif, isolasi, distorsi kognitif, hingga mencapai Fase Krisis yang dapat meledak menjadi perilaku agresif atau tindakan fatal. Perilaku tragis, seperti yang terjadi pada Hisyam atau pelaku ledakan SMAN 72, bukanlah fenomena tunggal, melainkan hasil dari akumulasi pengalaman negatif yang tidak tertangani.
Masalahnya tidak hanya terletak pada individu pelaku atau korban, melainkan pada kegagalan sistemik yang menganggap enteng perundungan. Keterbatasan Guru Bimbingan Konseling (BK) yang tersandera tugas administratif, minimnya kolaborasi antara sekolah dan orang tua, serta yang paling parah, sikap permisif yang menganggap candaan menyakitkan sebagai hal wajar, telah menciptakan celah besar bagi perundungan untuk berkembang biak.
Kita mencatat Komisioner KPAI yang mendesak agar proses hukum kasus Hisyam berjalan tanpa hambatan, serta respon Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah yang masih perlu "mendalami" kasus tersebut. Tindak lanjut hukum dan empati saja tidak cukup. Pemerintah, dalam hal ini Kemendikdasmen, tidak boleh lagi menanggapi tragedi ini hanya dengan pernyataan reaktif pascakejadian.
Saat ini, bangsa menuntut reformasi menyeluruh. Diperlukan langkah-langkah konkret dan sistemik:
Memberikan ruang profesional bagi Guru BK, menjadikannya sahabat siswa, fokus pada program preventif dan developmental, bukan sekadar administratif.
Sekolah wajib menyediakan kanal pelaporan yang cepat, anonim, dan aman bagi korban agar kasus dapat terdeteksi sebelum mencapai fase krisis.
Aparat penegak hukum harus menangani kasus ini secara profesional dan transparan, memastikan keadilan bagi korban yang meninggal, sekaligus memberikan pesan yang tegas kepada seluruh pihak.
Tanpa adanya keberanian moral dari seluruh elemen sekolah, pengawasan aktif dari orang tua, dan kebijakan yang konsisten dari pemerintah, kita hanya akan terus menyaksikan siklus perundungan yang menyakitkan.
Sudah saatnya kita menyudahi drama ini. Sekolah seharusnya menjadi tempat paling aman bagi anak untuk tumbuh, belajar, dan merasa dilindungi. Jika tidak, tragedi Hisyam hanya akan menjadi pengingat pahit bahwa rasa aman di dunia pendidikan kita memang telah lama terkubur.
(Redaksi fin.co.id menuntut pemerintah mengambil tindakan serius dan terstruktur, segera. Hentikan bom waktu bullying sekarang juga.)
PT.Portal Indonesia Media
Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210
Telephone: 021-2212-6982
E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com