[Redaksional fin.co.id] Redenominasi Hanya Kosmetik Angka Jika Literasi Nol Besar

fin.co.id - 10/11/2025, 07:00 WIB

[Redaksional fin.co.id] Redenominasi Hanya Kosmetik Angka Jika Literasi Nol Besar

Ilustrasi Transaksi dengan Uang Rupiah

WACANA penyederhanaan mata uang, atau yang secara teknis dikenal sebagai Redenominasi Rupiah, kembali mengemuka. Kali ini, rencana tersebut bahkan sudah tercantum dalam peta jalan resmi pemerintah, melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2025–2029. Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Harga Rupiah ditargetkan selesai pada 2027.

Langkah ini, yang mengusung ambisi besar untuk menghapus tiga angka nol—mengubah Rp1.000 menjadi Rp1—bukanlah sekadar manuver kosmetik angka semata. Ini adalah isu struktural yang menyentuh urat nadi perekonomian, efisiensi transaksi, dan yang paling krusial, psikologi publik terhadap mata uangnya sendiri.

Pemerintah, melalui Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia (BI), telah berulang kali menegaskan bahwa redenominasi bukanlah sanering atau devaluasi. Ini adalah murni penyederhanaan nominal tanpa mengurangi nilai riil atau daya beli masyarakat. Jika kita membeli sebungkus nasi seharga Rp10.000 hari ini, setelah redenominasi, harganya akan menjadi Rp10. Nilai dan daya belinya tetap sama.

Bukan Sekadar Efisiensi Administrasi

Mengapa redenominasi diangkat kembali di saat ekonomi Indonesia relatif stabil, dengan inflasi yang terkendali?

Data dan kajian dari lembaga seperti Indonesia Treasury Review (2017) dan pandangan para pakar menggarisbawahi beberapa manfaat signifikan. Pertama, adalah efisiensi transaksi dan pembukuan akuntansi. Dalam bisnis berskala besar, banyaknya digit pada mata uang rupiah saat ini (mencapai triliunan) sering menimbulkan kendala teknis pada software akuntansi dan sistem IT perbankan. Penyederhanaan digit akan membuat pencatatan lebih praktis dan meminimalisir potensi human error dalam penginputan angka.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, pada 2022 silam juga menekankan aspek efisiensi teknologi. Jumlah nol yang terlalu banyak memperlambat aktivitas transaksi. Dengan memangkas tiga nol, penyelesaian transaksi akan menjadi jauh lebih cepat dan meningkatkan efektivitas penggunaan teknologi perbankan dan pembayaran.

Kedua, adalah aspek psikologis dan kredibilitas. Ekonom senior Raden Pardede pernah menjelaskan bahwa mengubah Rp15.000 per Dolar AS menjadi sekitar Rp15 secara psikologis akan meningkatkan keyakinan pelaku pasar terhadap rupiah. Meskipun penegasan penting tetap harus dilakukan—bahwa redenominasi tidak serta merta memperkuat kurs Rupiah terhadap Dolar AS, karena penguatan kurs tergantung pada fundamental ekonomi—persepsi sederhana itu berperan penting dalam meningkatkan citra dan kredibilitas mata uang nasional di mata global.

Ini menjadi penting dalam konteks perdagangan terbuka dan persaingan ekonomi global. Mata uang dengan nominal yang lebih sederhana seringkali dianggap lebih sehat dan stabil oleh investor asing. Target Kemenkeu dalam beleid PMK 70/2025 pun jelas, yaitu untuk memperkuat kredibilitas mata uang nasional, menjaga stabilitas nilai rupiah, dan meningkatkan daya saing ekonomi nasional.

Bahaya di Balik Kebingungan Publik

Meskipun niat di balik redenominasi adalah positif dan bertujuan jangka panjang, implementasinya adalah palang pintu paling krusial. Dan di sinilah sikap kehati-hatian redaksi fin.co.id perlu digarisbawahi secara tebal.

Jika kita merujuk pada pengalaman negara-negara lain, redenominasi—bahkan yang dilakukan dalam kondisi ekonomi stabil—selalu membawa tantangan. Salah satu kekurangan paling kentara adalah potensi kebingungan masyarakat dan risiko penyalahgunaan selisih nilai.

Redenominasi memerlukan masa transisi yang lama, di mana dua mata uang (lama dan baru) akan beredar secara bersamaan. Bayangkan pedagang di pasar tradisional, atau masyarakat di daerah terpencil, yang harus menyesuaikan diri dengan perubahan dramatis dari Rp10.000 menjadi Rp10. Tanpa sosialisasi yang masif, mendalam, dan berkelanjutan, potensi kegaduhan dan bahkan aksi spekulatif atau kecurangan—di mana pedagang mencoba mengambil keuntungan dari kelalaian konsumen—sangatlah tinggi.

Kasus kegagalan redenominasi di Rusia pada 1998/1999 menjadi pelajaran pahit. Rusia menghapus tiga nol dari Rubel ketika inflasi relatif rendah, namun kondisi makroekonomi yang memburuk kemudian justru mendorong inflasi hingga lebih dari 120 persen. Kegagalan tersebut mengindikasikan bahwa tanpa kebijakan stabilisasi moneter dan fiskal yang baik, redenominasi tidak akan menghentikan atau bahkan mencegah lonjakan inflasi.

Di Indonesia, risiko terbesar bukanlah kegagalan ekonomi, melainkan kegagalan komunikasi dan literasi. Kita tidak ingin kebijakan yang bertujuan mulia untuk efisiensi ini justru membuahkan kehebohan di masyarakat, merusak kepercayaan publik terhadap nilai mata uang, dan yang paling ditakutkan, mengganggu stabilitas ekonomi karena disalahpahami sebagai sanering atau devaluasi tersembunyi.

Peran Sentral Negara dalam Literasi

Karena itu, sikap redaksi fin.co.id sangat tegas: Redenominasi boleh, bahkan perlu, jika tujuannya adalah efisiensi, tetapi sosialisasi dan literasi harus menjadi panglima utama.

Pemerintah dan Bank Indonesia tidak bisa lagi hanya berhenti pada wacana dan rancangan undang-undang. Mereka harus segera menyiapkan strategi komunikasi dan edukasi publik yang komprehensif yang melibatkan setiap lapisan masyarakat, dari perbankan besar hingga warung kecil di desa.

Sigit Nugroho
Penulis