Opini . 15/10/2025, 18:31 WIB
POLEMIK yang melibatkan program Xpose Uncensored Trans7 menjadi pengingat bahwa media massa tidak sekadar alat hiburan, tetapi juga institusi yang mengemban tanggung jawab moral dan sosial.
Tayangan yang menyinggung kehidupan Pondok Pesantren Lirboyo itu telah memicu kemarahan luas, terutama di kalangan santri, kiai, dan warga Nahdlatul Ulama. Bukan tanpa alasan: dalam tayangan tersebut, simbol-simbol pesantren, kiai, dan tradisi keilmuan Islam digambarkan dengan cara yang melecehkan.
Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Muhammad Makmun Rasyid bahkan menyebut kasus ini bukan sekadar kelalaian redaksional, melainkan bentuk framing yang disengaja untuk membangun stigma negatif terhadap pesantren.
Narasi satir yang digunakan dianggap menyesatkan publik dan menurunkan martabat lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia itu. Tuduhan bahwa pesantren tertinggal, otoriter, atau bahkan mengeksploitasi santri, jelas merupakan penggambaran yang tidak proporsional, dan berpotensi memperlebar jarak antara media dan masyarakat pesantren.
Secara normatif, tudingan ini memang memiliki dasar. Pasal 7 Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) secara tegas melarang tayangan yang melecehkan suku, agama, ras, dan antargolongan.
Bila benar ditemukan pelanggaran terhadap pasal tersebut, maka penyikapan tegas dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menjadi langkah yang wajar dan diperlukan. Media bukanlah ruang bebas nilai, melainkan wahana publik yang wajib tunduk pada etika jurnalistik, termasuk menghormati keyakinan dan martabat kelompok keagamaan.
Kemarahan publik juga dapat dipahami. Pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, tetapi bagian integral dari sejarah dan moralitas bangsa. Sejak masa perjuangan kemerdekaan, pesantren telah menanamkan nilai kebangsaan, keilmuan, dan adab. Mencederai kehormatan pesantren sama halnya dengan melukai akar moral negeri ini.
Karena itu, desakan ISNU dan langkah hukum yang ditempuh PBNU melalui Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) ke Bareskrim Polri dapat dibaca sebagai bentuk tanggung jawab sosial untuk menjaga marwah pesantren, bukan semata dorongan emosional.
Meski demikian, fin.co.id berpandangan persoalan ini sebaiknya tidak berlarut-larut. Permintaan maaf terbuka dari Trans7, baik melalui media sosial maupun sowan langsung ke Ponpes Lirboyo, patut diapresiasi sebagai langkah awal untuk memperbaiki kesalahan.
Kunjungan Direktur Produksi Trans7, Andi Chairil, ke para masyayikh Lirboyo menunjukkan adanya niat baik untuk menyelesaikan polemik secara beradab. Langkah itu semestinya menjadi titik balik bagi industri penyiaran untuk menegakkan kembali etika jurnalistik dan memperkuat literasi keberagaman dalam ruang redaksi.
Media, pada akhirnya, harus menyadari bahwa kebebasan berekspresi tidak berarti bebas dari tanggung jawab. Dalam ekosistem demokrasi, kebebasan pers hanya bisa bermakna jika dijalankan dengan integritas dan empati sosial. Setiap jurnalis dan lembaga penyiaran wajib menimbang dampak sosial dari setiap narasi yang disiarkan, terutama jika menyangkut isu keagamaan dan identitas kultural.
Kita berharap, semua pihak dapat menahan diri agar situasi tetap kondusif. Dunia penyiaran harus menjadikan insiden ini sebagai pelajaran untuk memperkuat mekanisme pengawasan internal, sementara masyarakat perlu mengedepankan dialog dan klarifikasi ketimbang memperpanjang ketegangan.
Polemik Xpose Uncensored menjadi cermin bagi dunia media: bahwa hiburan tidak boleh melampaui batas akal sehat dan moral publik. Menjaga marwah pesantren bukan hanya tanggung jawab umat Islam, tetapi tanggung jawab bersama untuk memastikan ruang publik tetap beradab dan inklusif. Karena dari sanalah peradaban bangsa bertumbuh—dari akal sehat, dari rasa hormat, dan dari kesediaan untuk belajar dari kesalahan. (*)
PT.Portal Indonesia Media
Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210
Telephone: 021-2212-6982
E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com