FENOMENA kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) di sejumlah SPBU swasta dalam beberapa pekan terakhir telah menimbulkan kegelisahan publik. Warga mendapati pilihan terbatas karena sebagian besar SPBU non-Pertamina kehabisan stok. Akibatnya, arus kendaraan kembali menumpuk di SPBU Pertamina. Situasi ini bukan sekadar masalah distribusi, melainkan gambaran kerentanan tata kelola energi nasional yang sejak lama tak kunjung dibenahi.
Redaksi fin.co.id menilai, ada dua akar persoalan yang tidak bisa diabaikan. Pertama, adanya pergeseran konsumen dari BBM subsidi ke BBM nonsubsidi. Shifting ini terjadi karena kuota subsidi yang terbatas hanya tersedia di SPBU Pertamina. Masyarakat kelas menengah yang tak lagi mendapat BBM bersubsidi kemudian beralih ke SPBU swasta. Lonjakan permintaan inilah yang memicu habisnya stok di sejumlah jaringan swasta.
Kedua, penurunan kepercayaan masyarakat terhadap kualitas BBM Pertamina. Isu dugaan “BBM oplosan” yang menyeruak setelah Kejaksaan Agung membongkar skandal korupsi minyak mentah Pertamina, menjadi faktor penting. Publik, dengan segala keterbatasan informasi, membentuk persepsi sendiri. Dan sayangnya, persepsi ini lebih cepat menyebar daripada klarifikasi resmi. Pertamina tampak kalah dalam mengelola komunikasi, membiarkan publik menjadi sutradara narasi krisis.
Kebijakan yang Membingungkan Investor
Persoalan menjadi semakin pelik setelah Kementerian ESDM menerbitkan Surat Edaran No T-19/MG.05/WM.M/2025 yang membatasi impor BBM nonsubsidi oleh SPBU swasta maksimal 10% dari volume penjualan tahun sebelumnya. Lebih jauh, pemerintah juga mewajibkan SPBU swasta membeli kekurangan pasokan melalui Pertamina. Kebijakan ini jelas kontradiktif: di satu sisi pemerintah membuka ruang investasi asing lewat UU Migas, di sisi lain justru menutup ruang gerak mereka dengan aturan baru.
Bagi investor, inkonsistensi aturan adalah sinyal buruk. Perusahaan global seperti Shell, Vivo, BP, dan ExxonMobil awalnya mau masuk ke Indonesia karena ada jaminan persaingan sehat. Tetapi ketika aturan berubah di tengah jalan, bahkan dengan kewajiban membeli dari kompetitor utama, kepercayaan itu terguncang. Ini bukan hanya soal pasokan, tetapi juga soal kredibilitas pemerintah menjaga iklim investasi.
Krisis Kepercayaan Publik
Kelangkaan BBM di SPBU swasta tak pelak menimbulkan efek psikologis yang besar. Publik merasa pilihan mereka dipersempit. Padahal, kehadiran SPBU swasta seharusnya menjadi penyeimbang, memberikan alternatif harga, kualitas, dan layanan.
Alih-alih memperbaiki citra, Pertamina justru membiarkan ruang kosong komunikasi. Saat isu BBM oplosan beredar, Pertamina tak segera merangkul publik dengan narasi empati. Akibatnya, framing publik terbentuk: SPBU swasta menjadi pahlawan, Pertamina menjadi antagonis. Inilah blunder komunikasi yang berbiaya mahal.
Jalan Tengah yang Seharusnya Ditempuh
Pemerintah bersama Pertamina memang sudah menawarkan solusi sementara, yakni memperbolehkan SPBU swasta membeli stok tambahan lewat mekanisme impor via Pertamina. Namun, solusi ini tidak menyentuh akar masalah. Sebab, di balik kompromi jangka pendek, masih ada ketidakpastian regulasi dan masalah citra yang belum terselesaikan.
Menurut redaksi, ada tiga langkah krusial yang harus segera diambil:
Kembalikan konsistensi aturan. Pemerintah tidak boleh mengubah regulasi secara tiba-tiba karena akan menakuti investor. Buka ruang persaingan sehat agar SPBU swasta tetap bisa mencari sumber impor alternatif dengan mekanisme pengawasan yang transparan.
Perbaiki kualitas layanan Pertamina. Jika kelangkaan terjadi di SPBU swasta, Pertamina harus bisa tampil sebagai solusi, bukan kambing hitam. Perbaikan layanan di SPBU Pertamina akan menjadi jawaban atas keresahan publik.
Kelola komunikasi krisis dengan empati. Publik tidak butuh klarifikasi teknis semata. Mereka ingin mendengar bahwa Pertamina memahami keresahan masyarakat dan bekerja bersama swasta mencari solusi. Narasi empati jauh lebih kuat daripada sekadar data pasokan.
Menjaga Energi, Menjaga Kepercayaan
Pada akhirnya, BBM bukan sekadar komoditas. Ia adalah denyut nadi mobilitas, ekonomi, bahkan stabilitas sosial. Setiap kebijakan yang menyangkut BBM harus ditempatkan dalam bingkai kepentingan publik yang lebih luas.
Pemerintah boleh saja menegaskan bahwa energi harus dikuasai negara sebagaimana amanat UUD 1945. Tetapi penguasaan negara tidak berarti menutup persaingan sehat atau mengorbankan kepentingan rakyat banyak. Justru, keberadaan swasta dapat memperkuat ketahanan energi dengan memberikan alternatif dan mendorong efisiensi.
Kelangkaan BBM di SPBU swasta seharusnya menjadi alarm keras. Bukan sekadar tentang pasokan yang menipis, tetapi tentang tata kelola yang rapuh, komunikasi yang gagap, dan kebijakan yang gamang. Jika tidak segera diperbaiki, bukan hanya citra Pertamina yang runtuh, melainkan juga kepercayaan publik terhadap pemerintah dalam mengelola energi nasional. (*)