Ekonomi . 16/09/2025, 11:11 WIB
fin.co.id - Apakah The Fed benar-benar akan menurunkan suku bunga bulan ini? Mayoritas pelaku pasar global tampaknya semakin yakin pemangkasan suku bunga acuan Federal Funds Rate (FFR) sebesar 25 basis poin (bps) akan terjadi pada rapat Federal Open Market Committee (FOMC) pada 17 September 2025. Data ekonomi Amerika Serikat yang terus melemah memperkuat keyakinan ini.
Berdasarkan indikator CME FedWatch, peluang The Fed memangkas FFR sebesar 25 bps mencapai 96,4 persen. Sebaliknya, kemungkinan penurunan yang lebih agresif hingga 50 bps hanya 3,6 persen. Angka ini menunjukkan konsensus pasar sudah sangat solid bahwa langkah pelonggaran moneter yang lebih moderat akan diambil The Fed.
Menurut Chief Economist & Head of Research Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Rully Arya Wisnubroto, ekspektasi ini berakar dari lemahnya pasar tenaga kerja AS. Kondisi tersebut memberi sinyal bahwa pertumbuhan ekonomi negeri Paman Sam sedang kehilangan momentum.
Rully menjelaskan, data non-farm payroll (NFP) bulan Agustus hanya mencatat penambahan 22 ribu pekerjaan. Angka ini jauh di bawah konsensus yang memperkirakan 75 ribu, bahkan lebih rendah dari capaian Juli yang mencapai 79 ribu. Lebih parah lagi, pada Juni 2025, NFP mencatat kontraksi sebesar 13 ribu, yang merupakan penurunan bulanan pertama sejak pandemi COVID-19 di 2020.
Tingkat pengangguran di AS kini naik menjadi 4,3 persen, level tertinggi dalam hampir empat tahun terakhir. Namun, di sisi lain, inflasi indeks harga konsumen (IHK) justru meningkat ke level 2,9 persen year-on-year pada Agustus. Kenaikan ini menjadi yang tertinggi dalam delapan bulan terakhir.
Menurut Rully, kombinasi antara kenaikan pengangguran dan inflasi yang meningkat menimbulkan risiko stagflasi. Kondisi ini menggambarkan situasi di mana pertumbuhan ekonomi melemah, tetapi harga-harga tetap naik.
“Ironisnya, fenomena ini berkaitan erat dengan kebijakan pemerintahan Donald Trump. Mulai dari penetapan tarif impor baru secara masif hingga regulasi ketenagakerjaan yang lebih ketat. Keduanya menekan dunia usaha sekaligus pasar tenaga kerja,” jelas Rully dalam publikasi risetnya, Selasa (16/9/2025).
Tekanan terhadap ekonomi AS membuat nilai dolar ikut goyah. Indeks dolar (DXY) bertahan di kisaran 97–98 selama sepekan terakhir. Kondisi ini menandakan tren pelemahan mata uang AS, meski tidak terlalu tajam. Efeknya, rupiah yang sebelumnya tertekan karena dinamika politik dalam negeri mendapat sedikit dorongan positif.
“Pelemahan dolar AS membuka ruang bagi rupiah untuk menguat. Walaupun faktor domestik juga tetap akan menjadi penentu, tren global jelas membantu stabilitas kurs dalam jangka pendek,” tambah Rully.
Bagaimana dengan langkah Bank Indonesia (BI)? Rully memperkirakan BI akan menahan suku bunga acuannya pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) pekan ini. Sebab, sejak September 2024 hingga Agustus 2025, BI sudah memangkas suku bunga sebesar 125 bps secara agresif untuk menjaga pertumbuhan ekonomi domestik.
“Dengan kebijakan The Fed yang cenderung longgar, BI tidak perlu terburu-buru melakukan pemangkasan tambahan. Fokus utama saat ini adalah menjaga stabilitas rupiah dan memastikan inflasi terkendali,” ujar Rully.
Mayoritas pelaku pasar kini meyakini The Fed akan memangkas suku bunga sebesar 25 bps pada FOMC 17 September 2025. Melemahnya pasar tenaga kerja, meningkatnya pengangguran, dan risiko stagflasi menjadi faktor utama di balik ekspektasi tersebut. Dolar AS yang melemah turut mendorong rupiah, sementara BI diperkirakan akan memilih menahan suku bunga demi menjaga stabilitas moneter dalam negeri. (*)
PT.Portal Indonesia Media
Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210
Telephone: 021-2212-6982
E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com