Opini . 28/08/2025, 15:13 WIB

PMII Kini Bisu dan Ompong

Penulis : Sigit Nugroho
Editor : Sigit Nugroho

Oleh: Moh Ramli

Penulis buku Teladan dan Nasihat Islami Paus Fransiskus, wartawan dan lulusan Magister Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA, Jakarta.

Di tengah ruwetnya negeri ini—rezim ugal-ugalan, kebijakan asal-asalan—saya sesungguhnya menanti suara lantang dari toa mahasiswa Islam paling beken: PMII. Bukan sekadar basa-basi checks and balances, tapi keberanian menohok penguasa yang kelewat edan. Syukur-syukur bisa bikin penguasa ngopi sambil meringis.

Tapi apa lacur? Yang terdengar bukan suara toa, melainkan keheningan. Bukan derap langkah ke jalan, melainkan derit kursi rapat internal. Bahkan, untuk sekadar bersuara pun mereka enggan. Alih-alih menjadi singa jalanan, PMII kini menjelma kucing rumahan: jinak di pangkuan, garang di poster.

Ironis sekaligus paradoks, pelajar SMA-SMK secara berani berteriak di depan Gedung Senayan, Jakarta. Sementara mahasiswa yang mengaku agen perubahan justru senyap entah kemana. Apa PMII sudah habis ludah? Atau mulutnya kini tersumpal nasi kotak seminar?

Moto yang Terbengkalai

Saya masih ingat betul, sekitar 2016-2017, ketika pertama kali "singgah" di rumah besar PMII. Moto mereka bikin dada mengembang: Dzikir, Fikir, dan Amal Sholeh. Indah, sufistik, puitis. Bahkan terasa lebih religius daripada poster motivasi di kamar kos.

Saya maknai sederhana: Dzikir itu mengingat Tuhan dalam keadaan apa pun. Fikir itu berpikir kritis, menajamkan otak sebelum melangkah. Amal Sholeh itu turun ke gelanggang, berbuat nyata demi kemaslahatan bangsa dan negara.

Tapi sekarang? Moto itu sekadar slogan tak bertuan. Dzikir tinggal bacaan, Fikir tumpul, Amal Sholeh entah di mana. Yang ada: kursi, jabatan, dan kuasa. Dzikir, Fikir, dan Amal Sholeh kini diplesetkan jadi Dzikir, Fikir, dan Amal Politik Praktis.

Kader yang Kehilangan Selera

Dulu, idealisme adalah mahkota mahasiswa. Tan Malaka bilang, itu “keistimewaan terakhir anak muda.” Kini, mahkota itu jatuh, dipungut, lalu dijual di pasar loak kekuasaan.

Apakah salah berpolitik? Tidak. Tapi salah ketika politik dijalani dengan mental membebek, menjilat, bahkan mempelacurkan integritas. Salah ketika kader yang mengklaim sebagai mahasiswa Islam malah jadi kompor penguasa yang membakar hangus kehormatan negeri.

Yang lebih parah, bukannya mengkritik kebobrokan hukum, pembunuhan demokrasi, atau pesta dinasti politik, sebagian kader organisasi ini justru masuk kolam yang sama. Bahkan tanpa malu tampil jadi tukang kipas paling depan, membela penguasa habis-habisan. Demi apa? Demi kedudukan "kue" komisaris?

Penutup

Visi PMII itu amat gagah: membentuk pribadi Muslim yang bertakwa, berilmu, berbudi luhur, bertanggung jawab, dan setia pada cita-cita kemerdekaan. Di atas kertas, ia mirip manifesto revolusi. Dalam forum diskusi, bisa bikin begadang sampai ayam jago berkokok.

Tapi di lapangan? Visi itu justru kini dicampakkan. Yang memperkosa kesuciannya siapa? Ya kadernya sendiri. Bukan musuh, bukan lawan, tapi "anak kandung" organisasi sendiri.

Maka, jangan heran jika kini kader PMII tampak bisu nan ompong. Bukan karena kehilangan taring permanen, melainkan gigi susu yang tidak pernah tumbuh lagi. Sungguh menyedihkan, bukan? (*)

           
© 2024 Copyrights by FIN.CO.ID. All Rights Reserved.

PT.Portal Indonesia Media

Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210

Telephone: 021-2212-6982

E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com