Kisah Horor di Balik Cermin Antik: Bayangan Masa Lalu yang Menghantui

fin.co.id - 21/08/2025, 13:58 WIB

Kisah Horor di Balik Cermin Antik: Bayangan Masa Lalu yang Menghantui

Kisah Horor Menegangkan: Saat Cermin Menjadi Jendela ke Dunia Lain. Image (Istimewa).

fin.co.id - Kisah horor sering kali lahir dari hal-hal sederhana di sekitar kita sebuah rumah tua, suara langkah di malam hari, atau bahkan sekadar cermin yang berdiri di sudut ruangan.

Namun, bagaimana jika cermin itu bukan hanya memantulkan bayangan kita, melainkan juga menyimpan masa lalu yang tak pernah bisa kita lupakan?

Di sebuah apartemen lama, udara terasa dingin, pengap, dan penuh debu. Di tengah ruangan berdiri sebuah cermin antik dengan bingkai kayu berukir rumit, meski sudah retak di beberapa bagian.

Cermin itu bukan sekadar benda usang, melainkan saksi bisu dari sebuah tragedi yang terus menghantui pemiliknya.

Setiap kali menatap permukaan cermin, ia tidak hanya melihat pantulan dirinya. Ada bayangan lain yang selalu muncul bayangan masa lalu yang dipenuhi rasa bersalah.

Semua berawal dari sebuah kecelakaan yang merenggut nyawa adik perempuannya, satu detik kelalaian yang mengubah hidup selamanya.

Malam hujan deras menjadi titik balik dari kisah horor ini. Saat berdiri di depan cermin, pantulan yang muncul bukan lagi dirinya sendiri.

Sosok anak kecil dalam gaun putih tiba-tiba tampak berdiri di belakangnya. Itu adalah adiknya, dengan suara lirih berbisik, “Kakak meninggalkanku.”

Ketegangan memuncak ketika sosok itu semakin jelas di dalam cermin. Senyum terakhir yang dulu penuh kebahagiaan kini berganti dengan tatapan kosong dan duka mendalam.

Tangannya terangkat, seolah mencoba menembus batas antara dunia nyata dan bayangan. Air mata mengalir dari sosok itu, menetes di permukaan cermin dan merembes keluar, membasahi bingkai kayu yang retak.

Dalam pantulan cermin, masa lalu kembali terulang. Ia melihat dirinya yang lebih muda, berdiri di pinggir jalan, melepaskan genggaman tangan sang adik.

Suara klakson dan tubuh kecil yang tergeletak di jalan kembali menghantui. Cermin itu tidak sekadar menunjukkan kenangan, melainkan memaksanya menghadapi rasa bersalah yang selama ini dipendam.

“Kenapa Kakak tidak menolongku?” suara itu terdengar begitu nyata. Retakan di cermin makin melebar, seolah kesedihan yang dikandungnya tak mampu lagi ditahan.

Akhirnya, dengan air mata yang tak terbendung, ia mendekati cermin, menyentuh permukaan dingin yang memisahkan dirinya dan adiknya. “Maafkan Kakak,” bisiknya penuh penyesalan.

Seketika, bayangan itu perlahan memudar, retakan berhenti menjalar, dan air mata di bingkai kayu kering begitu saja.

Aries Setianto
Penulis