Opini . 16/08/2025, 20:17 WIB
Oleh: Sigit Nugroho
Pemimpin Redaksi fin.co.id
Delapan dekade Indonesia merdeka, demokrasi masih menjadi wacana yang tak pernah selesai dibicarakan. Demokrasi kita lahir bukan di ruang hampa, melainkan dalam ruang sejarah panjang perjuangan bangsa yang penuh luka, kompromi, sekaligus harapan. Namun, demokrasi yang diidealkan sebagai sistem yang memberi ruang partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas, justru kerap tersandera oleh realitas politik yang sarat kepentingan jangka pendek.
Pertanyaannya, apakah demokrasi di Indonesia benar-benar sudah menjadi instrumen untuk memperkuat pembangunan, atau justru terseret dalam arus pragmatisme kekuasaan?
Reformasi 1998 membuka pintu lebar-lebar bagi demokratisasi. Kita merasakan kebebasan berpendapat, lahirnya partai-partai politik baru, serta mekanisme pemilu langsung yang memberi rakyat hak memilih pemimpin secara terbuka. Tetapi kebebasan itu sekaligus melahirkan persoalan baru: politik uang, oligarki yang kian kokoh, serta fragmentasi politik yang justru melemahkan daya tawar rakyat.
Ketika demokrasi diidealkan sebagai sarana memperkuat pembangunan, realitas di lapangan menunjukkan bahwa pembangunan kerap dijadikan alat legitimasi politik. Infrastruktur misalnya, yang semestinya menjadi instrumen pemerataan, justru sering dipolitisasi sebagai simbol kekuasaan. Demokrasi akhirnya hanya dipandang sebagai jalan menuju kursi kekuasaan, bukan sebagai fondasi untuk memperkuat kesejahteraan rakyat.
Indonesia sejak lama mengusung jargon pembangunan yang ambisius: swasembada pangan, industrialisasi, hilirisasi, hingga program revolusi hijau. Kini, pembangunan kembali ditekankan lewat proyek-proyek infrastruktur masif dan agenda transformasi ekonomi. Tetapi pertanyaan mendasar muncul: sejauh mana pembangunan ini berangkat dari kebutuhan rakyat, dan sejauh mana ia sekadar menjadi komoditas politik?
Dalam sistem demokrasi yang sehat, pembangunan seharusnya lahir dari musyawarah publik—melalui DPR, pemerintah daerah, hingga mekanisme partisipatif di tingkat desa. Namun, demokrasi kita masih terjebak pada logika transaksional. Proyek pembangunan besar kerap lahir bukan dari kebutuhan riil masyarakat, melainkan dari kalkulasi politik elite yang ingin memperkuat legitimasi menjelang pemilu.
Kondisi ini menimbulkan paradoks. Di satu sisi, pembangunan terus digenjot untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, demokrasi yang semestinya memastikan keadilan distribusi justru melemah, karena rakyat sering hanya dijadikan objek pembangunan, bukan subjek.
Kita perlu bertanya dengan jujur: apakah demokrasi Indonesia sudah cukup substansial? Banyak indikator justru menunjukkan gejala kemunduran. Indeks demokrasi memang menunjukkan fluktuasi, tetapi kualitas demokrasi substantif—seperti kebebasan pers, independensi lembaga negara, dan partisipasi publik—masih jauh dari ideal.
Demokrasi prosedural memang berjalan. Kita punya pemilu reguler, multipartai, dan mekanisme check and balance formal. Tetapi substansi demokrasi—yakni keadilan, kesetaraan, dan partisipasi bermakna—masih kerap absen. Elite politik lebih sibuk mengurus koalisi, lobi-lobi bisnis, dan akomodasi kepentingan ekonomi ketimbang mengawal agenda kesejahteraan rakyat.
Jika demokrasi hanya berhenti pada prosedur, maka ia rawan dibajak. Politik uang menjadi penyakit laten. Oligarki ekonomi merasuk ke dalam institusi politik. Hasilnya, demokrasi kehilangan makna sebagai alat rakyat, berubah menjadi panggung elite.
Indonesia butuh jalan tengah antara demokrasi dan pembangunan. Demokrasi tidak boleh direduksi hanya sebagai pesta elektoral lima tahunan, tetapi juga tidak boleh dijadikan alasan untuk menunda pembangunan. Yang kita butuhkan adalah demokrasi pembangunan: sebuah model di mana demokrasi tidak sekadar prosedural, melainkan benar-benar menjiwai setiap kebijakan pembangunan.
Dalam model ini, pembangunan tidak semata ditentukan elite, tetapi juga melibatkan partisipasi rakyat secara langsung. Transparansi anggaran, musyawarah perencanaan, hingga kontrol publik yang kuat harus menjadi pilar. Di sinilah peran masyarakat sipil, media, akademisi, dan organisasi sosial menjadi penting untuk mengawal agar pembangunan berjalan adil dan berkelanjutan.
Tantangan besar Indonesia ke depan adalah bagaimana mengintegrasikan demokrasi dengan agenda pembangunan yang berkelanjutan. Ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian:
Demokrasi tidak akan berjalan sehat tanpa institusi politik yang kuat dan independen. Partai politik, DPR, dan lembaga peradilan harus benar-benar menjadi pelayan kepentingan rakyat, bukan kepanjangan tangan oligarki ekonomi.
PT.Portal Indonesia Media
Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210
Telephone: 021-2212-6982
E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com