Oleh Sigit Nugroho
Pemimpin Redaksi fin.co.id
Langkah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang membekukan lebih dari 28 juta rekening bank karena dinilai tidak aktif selama tiga bulan patut dipertanyakan. Kebijakan yang dilakukan secara sporadis dan sepihak itu bukan saja menimbulkan kegaduhan publik, tetapi juga menunjukkan watak negara yang makin permisif terhadap pelanggaran hak-hak sipil warga, khususnya dalam hal kepemilikan atas dana pribadi.
Atas nama pemberantasan judi online dan transaksi keuangan ilegal, negara tampak mengambil jalan pintas: menutup akses publik terhadap simpanannya sendiri tanpa pemberitahuan yang memadai. Dalam banyak kasus, rekening-rekening tersebut justru digunakan sebagai tabungan jangka panjang, simpanan darurat, bahkan warisan keluarga yang memang jarang disentuh. Apakah semua itu layak dicurigai hanya karena tidak aktif selama 90 hari?
Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, berdalih bahwa pemblokiran dilakukan demi mencegah efek sosial dari judi online, seperti bunuh diri, kehancuran ekonomi keluarga, hingga perdagangan manusia. Narasi itu terdengar mulia, tetapi implementasinya justru sembrono. Alih-alih menindak pelaku kejahatan secara presisi, PPATK memilih menyisir semua rekening yang "tertidur", dan memblokirnya secara massal. Bukankah ini serupa dengan membakar seluruh lumbung padi hanya demi membasmi beberapa ekor tikus?
Protes keras datang dari berbagai kalangan. Mahfud MD, mantan Menko Polhukam yang juga pakar hukum tata negara, menilai kebijakan itu tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Ia menyebut PPATK telah melampaui batas wewenangnya dan menyarankan agar masyarakat menggugatnya ke pengadilan. “Kalau ada dugaan rekening mencurigakan, ya blokir yang itu saja. Bukan semuanya,” katanya.
Dari sisi industri perbankan, responsnya pun tak kalah menarik. Beberapa bank mengaku hanya menjalankan perintah. Bank Danamon, misalnya, menyebut telah mengajukan permohonan pembukaan kembali karena nasabah mengeluh. Sementara BCA, meski menyambut baik langkah ini dari sisi edukasi nasabah, tetap menekankan pentingnya perlindungan atas hak nasabah. Tidak satu pun bank benar-benar menyatakan bahwa pemblokiran massal ini adalah langkah yang bijak.
Minimnya sosialisasi dan komunikasi publik menambah rumit persoalan. Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Dolfie OFP, mengingatkan bahwa kebijakan ini menimbulkan keresahan dan perlu segera dievaluasi bersama antara PPATK, OJK, dan pelaku industri keuangan. Apalagi, sebagian besar masyarakat tidak memahami istilah “rekening dormant” maupun risiko kebijakan yang melekat padanya.
Ironisnya, PPATK kemudian mengumumkan telah membuka kembali jutaan rekening yang sebelumnya dibekukan, tanpa penjelasan yang transparan soal kriteria dan mekanismenya. Apakah ini berarti mereka mengakui ada kekeliruan? Jika iya, siapa yang bertanggung jawab atas kerugian psikologis dan finansial yang dialami para pemilik rekening?
Masalah utamanya adalah negara gagal memahami kebiasaan finansial warganya. Banyak orang justru menyimpan uang di rekening yang jarang disentuh sebagai bentuk perencanaan jangka panjang, bukan untuk transaksi harian. Membekukan rekening seperti itu berarti menghukum kehati-hatian dan kemandirian finansial.
Perlu disadari, kepercayaan publik adalah fondasi utama industri perbankan. Sekali tercoreng, butuh waktu lama untuk memulihkannya. Jika negara sendiri yang menggerus kepercayaan itu, maka kita sedang menghadapi persoalan serius dalam manajemen risiko kebijakan publik.
Negara memang harus hadir dalam melindungi rakyat dari kejahatan digital. Namun kehadiran itu harus berdasarkan prinsip proporsionalitas, akuntabilitas, dan due process of law. Tidak boleh ada kebijakan reaktif yang justru memukul rakyat kecil dengan dalih keamanan nasional.
PPATK wajib mengevaluasi total kebijakan ini. Pengawasan terhadap transaksi mencurigakan memang penting, tetapi harus berbasis data, teknologi, dan pendekatan forensik yang cermat—bukan dengan menebar jala besar dan berharap ikan busuk akan tersangkut.
Kita tidak bisa membiarkan negara terus menyelesaikan masalah seperti ini: membabi buta, panik, dan tidak akuntabel. Kalau tujuannya memburu tikus, jangan sampai kita kehilangan seluruh panen padi. (Sigit Nugroho)