Opini . 16/04/2025, 10:14 WIB
Oleh: Sigit Nugroho Pemimpin Redaksi fin.co.id
Sulit dibayangkan, kota semodern Tangerang Selatan, yang selama ini dibanggakan sebagai pusat pertumbuhan baru di Jabodetabek, kembali tercoreng oleh kasus korupsi. Ironisnya, bukan kali pertama. Kali ini, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangsel, Wahyunoto Lukman, menjadi tersangka dalam dugaan korupsi pengelolaan sampah senilai Rp75,9 miliar. Sebuah angka yang tidak kecil, untuk persoalan yang sangat dekat dengan kehidupan warga: sampah.
Kasus ini membuka kembali luka lama. Tangsel bukan kota asing dalam peta korupsi di Indonesia. Pada masa Walikota Airin Rachmi Diany, sederet kasus pernah mencuat ke publik—mulai dari skandal alat kesehatan pada APBD-P 2012 yang merugikan negara Rp14,5 miliar, korupsi pembangunan Puskesmas di Tangsel, hingga kredit macet BPD Banten senilai lebih dari setengah triliun rupiah. Semua itu seolah menjadi warisan yang terus menular dari satu periode ke periode berikutnya, tanpa ada upaya nyata memutus rantainya.
Yang terjadi hari ini adalah cerminan buruk dari sistem yang rusak sejak lama. Dalam kasus Wahyunoto, praktik manipulasi mulai dari proses tender, pengadaan perusahaan boneka, hingga penunjukan figur yang sama sekali tidak kompeten sebagai direktur operasional—tukang kebun, bukan profesional—semua menunjukkan bahwa proses pengawasan di lingkungan pemerintah kota sangat longgar, kalau bukan lemah.
Parahnya lagi, proyek bernilai puluhan miliar tersebut tidak menghasilkan pengelolaan sampah yang layak. Sampah-sampah dari Tangsel justru dibuang secara ilegal ke wilayah Bogor dan Bekasi, tanpa pengolahan sesuai standar. Ini bukan hanya soal anggaran yang digelapkan, tapi juga dampak ekologis dan sosial yang ditanggung masyarakat. Membuang masalah ke wilayah tetangga bukan solusi, melainkan bentuk pembiaran yang bisa memantik konflik baru antarwilayah.
Apa yang sedang terjadi di Tangsel hari ini bukanlah kasus tunggal. Ini gejala dari penyakit lama yang belum juga diobati: budaya birokrasi yang permisif terhadap penyimpangan, minimnya transparansi dalam proses pengadaan, serta lemahnya akuntabilitas pejabat publik. Bahkan ketika wajah pemimpinnya berganti, perilaku keliru yang sama masih terjadi.
Lebih menyedihkan lagi, semua ini terjadi di tengah kampanye-kampanye publik tentang "kota pintar", "kota ramah lingkungan", dan "reformasi birokrasi". Slogan-slogan itu terdengar hambar jika di baliknya masih tersimpan praktik yang menggerogoti kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Masyarakat Tangsel berhak marah. Tapi lebih dari itu, mereka juga berhak melihat perubahan. Pemerintah kota, dalam hal ini Walikota Benyamin Davnie, tak bisa lagi sekadar mengaku prihatin. Sudah saatnya bergerak cepat, tegas, dan terbuka untuk membenahi sistem dari hulu ke hilir. Reformasi dalam sistem pengadaan barang dan jasa harus jadi prioritas. Pengawasan internal harus diperkuat, dan keterlibatan publik dalam mengawal kebijakan harus dibuka selebar-lebarnya.
Kita tak sedang bicara soal satu dua oknum. Kita bicara soal tumpukan masalah struktural yang tak bisa disapu di bawah karpet. Jika Tangsel ingin sungguh menjadi kota modern dan maju, maka pembenahan tata kelola pemerintahan harus menjadi fondasi utamanya. Bukan kosmetik luar, bukan janji-janji manis yang habis masa tayangnya saat masa kampanye berakhir.
Tangerang Selatan punya potensi besar, tapi potensi itu akan terus terkubur jika praktik korupsi masih jadi bagian dari keseharian birokrasi. Jangan sampai kota ini hanya dikenang sebagai tempat yang bersinar di luar, tapi keropos di dalam.(Sigit Nugroho)
PT.Portal Indonesia Media
Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210
Telephone: 021-2212-6982
E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com