Opini . 24/02/2025, 08:11 WIB

Kebebasan Berekspresi vs. Pembungkaman Karya Seni

Penulis : Sigit Nugroho
Editor : Sigit Nugroho

Sukatani dan Nyanyian yang Dibungkam

Oleh: Sigit Nugroho

Pemimpin Redaksi fin.co.id/Drummer Band Punk Den Wardoyo

Indonesia, negeri demokrasi yang katanya menjunjung tinggi kebebasan berekspresi, kembali diuji. Band punk Sukatani, dengan lagu mereka "Bayar Bayar Bayar", mendapati diri mereka berada di pusaran badai setelah liriknya dianggap menyindir institusi kepolisian. Alih-alih dijawab dengan refleksi dan perbaikan institusional, respons yang muncul justru berbentuk intimidasi, tekanan, dan pemaksaan untuk menurunkan karya mereka dari platform digital. Ironis? Tentu saja. Demokrasi kita tampaknya masih alergi terhadap kritik, apalagi yang dibalut dalam seni.

Karya seni, dalam sejarahnya, adalah cermin zaman. Ia menangkap kegelisahan publik, menyalurkan keresahan yang tak mampu diungkapkan dalam bahasa resmi, dan menjadi suara bagi yang tak bersuara. Dari Slank dengan "Gosip Jalanan" hingga Iwan Fals dengan "Bongkar", kritik sosial dalam musik bukanlah fenomena baru. Justru, karya-karya seperti ini menandakan bahwa ada sesuatu yang salah dalam sistem, sesuatu yang perlu diperbaiki. Mengapa kritik dalam bentuk seni harus ditanggapi dengan represif?

Intimidasi dan Pembungkaman, Tanda Kemunduran Demokrasi

Kasus Sukatani bukan hanya soal sebuah band punk yang dipaksa bungkam. Ini adalah cerminan dari pola lama yang terus berulang: ketika institusi merasa tersinggung, responsnya bukan introspeksi, melainkan pembungkaman. Tak cukup hanya dengan menurunkan lagu dari platform digital, bahkan vokalis band, Novi Citra Indriyati, diberhentikan dari pekerjaannya sebagai guru dengan alasan yang terkesan dicari-cari. Publik semakin bertanya-tanya: apakah ini masih negara hukum yang menjamin kebebasan berekspresi, ataukah kita kembali ke masa di mana kritik adalah kejahatan?

Reaksi berlebihan seperti ini justru memperburuk citra kepolisian di mata publik. Jika lagu "Bayar Bayar Bayar" hanya didengar oleh segelintir orang sebelum di-take down, kini justru menjadi lagu perlawanan yang dikumandangkan dalam aksi "Indonesia Gelap". Lirik yang menyindir praktik transaksional dalam tubuh kepolisian justru semakin relevan di tengah maraknya kasus pungli dan korupsi yang menyeret aparat penegak hukum. Bukankah lebih baik menjawab kritik dengan perbaikan, bukan dengan tekanan?

Negara Seharusnya Melindungi, Bukan Membungkam

Konstitusi jelas menjamin kebebasan berekspresi. Pasal 28 UUD 1945 menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk mengeluarkan pendapat, termasuk dalam bentuk seni dan budaya. UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan bahkan menegaskan bahwa negara harus mendukung ekspresi budaya sebagai bagian dari kebebasan berkreativitas. Lalu, di mana posisi negara ketika warganya diintimidasi hanya karena menyanyikan keresahan sosial?

Bukan hanya aktivis dan seniman yang bersuara, tetapi juga tokoh-tokoh publik seperti Mahfud MD dan Komnas HAM yang menyatakan bahwa lagu Sukatani bukanlah pelanggaran hukum, melainkan bagian dari kebebasan berekspresi yang sah. Bahkan, Kompolnas sendiri menyatakan bahwa kritik terhadap Polri adalah bagian dari demokrasi yang sehat. Lantas, mengapa masih ada tekanan terhadap Sukatani?

Jika Polri benar-benar institusi yang profesional dan terbuka terhadap kritik, seharusnya mereka menjawab lagu ini dengan tindakan nyata: membersihkan institusi dari oknum yang merusak citra kepolisian. Bukan dengan membungkam lagu dan pemiliknya. Kritik dalam seni seharusnya menjadi alarm perbaikan, bukan sinyal untuk bertindak represif.

Menghapus Cermin Tidak Menghilangkan Wajah yang Buruk

Kritik dalam seni adalah bagian dari demokrasi. Jika kritik itu dianggap berlebihan atau tidak sesuai fakta, jawab dengan transparansi dan bukti bahwa tuduhan tersebut salah. Bukan dengan pemaksaan take down, bukan dengan intimidasi. Kita hidup di era digital, di mana sesuatu yang sudah tersebar di internet tidak bisa benar-benar dihapus. Lagu "Bayar Bayar Bayar" sudah terlanjur menjadi ikon perlawanan, dan semakin ditekan, semakin luas penyebarannya.

Kepada pemerintah dan aparat keamanan, redaksi fin.co.id ingin mengingatkan: menekan kritik hanya akan membangkitkan perlawanan yang lebih besar. Seharusnya negara melindungi seniman dan kebebasan berekspresi, bukan menjadi pihak yang menakut-nakuti warganya sendiri. Kritik yang muncul dari rakyat, melalui seni atau media lainnya, adalah bahan evaluasi, bukan ancaman.

Jika demokrasi kita benar-benar sehat, biarkan Sukatani bernyanyi. Sebab, suara rakyat—bagaimanapun nadanya—tidak boleh dibungkam. (Sigit Nugroho)

           
© 2024 Copyrights by FIN.CO.ID. All Rights Reserved.

PT.Portal Indonesia Media

Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210

Telephone: 021-2212-6982

E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com