Opini . 20/02/2025, 13:42 WIB
Ketua Forum Sahabat Infrastruktur
Dalam dunia jurnalistik, hubungan antara wartawan dan pejabat negara sering kali menjadi perhatian utama, terutama dalam konteks kebebasan pers dan transparansi pemerintahan. Di Indonesia, keseimbangan antara tugas jurnalis dan hak pejabat diatur dalam berbagai regulasi, seperti UU Pers (No. 40 Tahun 1999), UU ITE (No. 11 Tahun 2008, direvisi No. 19 Tahun 2016), UU Keterbukaan Informasi Publik (No. 14 Tahun 2008), dan UU Keprotokoleran (No. 9 Tahun 2010). Keempat undang-undang ini menjadi dasar untuk menjaga harmonisasi antara media dan pejabat dalam interaksi peliputan jurnalistik.
UU Pers menjamin kebebasan media dalam mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi kepada masyarakat. Wartawan memiliki hak untuk melakukan investigasi dan publikasi berita tanpa tekanan, serta berhak mendapatkan perlindungan hukum saat menjalankan tugasnya. Namun, kebebasan ini juga disertai tanggung jawab besar, yaitu:
Pasal 4 UU Pers menegaskan bahwa pers nasional tidak boleh dikenakan sensor atau pembredelan. Artinya, wartawan memiliki hak penuh dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat, selama tetap berpegang pada kode etik jurnalistik dan prinsip verifikasi fakta.
Di sisi lain, pejabat negara memiliki hak untuk memberikan atau menolak wawancara. UU Pers mengakui hak narasumber untuk mendapatkan pemberitaan yang berimbang dan tidak tendensius. Selain itu, UU ITE turut mengatur bahwa penyebaran informasi yang mengandung pencemaran nama baik atau ujaran kebencian dapat dikenakan sanksi hukum, yang berarti wartawan harus berhati-hati dalam memilih diksi dan menyajikan informasi.
Pejabat juga berhak atas hak jawab dan hak koreksi jika merasa dirugikan oleh pemberitaan. Dalam hal ini, media wajib memberikan ruang yang layak bagi pejabat untuk memberikan klarifikasi sesuai dengan prinsip keberimbangan berita.
UU Keterbukaan Informasi Publik mewajibkan pejabat untuk transparan dalam memberikan informasi kepada masyarakat. Pejabat negara berkewajiban:
Namun, ada batasan dalam keterbukaan informasi. Misalnya, informasi yang dapat mengganggu proses hukum atau membahayakan keamanan negara dapat dikecualikan dari kewajiban transparansi.
Interaksi antara wartawan dan pejabat juga diatur dalam UU Keprotokoleran, yang menegaskan bahwa:
Pejabat memiliki tata aturan tertentu dalam acara resmi, sehingga wartawan harus menghormati batasan akses terhadap pejabat.
Akses terhadap pejabat dalam acara formal diatur oleh tim protokoler, yang memiliki wewenang menentukan apakah wawancara dapat dilakukan secara langsung atau harus melalui prosedur tertentu.
Jika interaksi tidak memungkinkan dalam acara resmi, wartawan dapat mengajukan permohonan wawancara melalui jalur resmi.
Hal ini bertujuan untuk menjaga ketertiban dalam penyelenggaraan acara kenegaraan dan memastikan bahwa interaksi antara pejabat dan media berlangsung dengan tertib serta profesional.
Untuk mencapai keseimbangan antara tugas jurnalistik dan hak pejabat, beberapa prinsip utama perlu diterapkan:
Profesionalisme Jurnalistik – Wartawan harus menjunjung tinggi kode etik, melakukan verifikasi informasi, serta menghormati hak privasi dan hak jawab narasumber.
PT.Portal Indonesia Media
Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210
Telephone: 021-2212-6982
E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com