Denny JA juga menyoroti agama sebagai tradisi kultural yang terus berkembang.
“Natal, misalnya, kini dirayakan tidak hanya oleh umat Kristiani, tetapi juga sebagai festival budaya di berbagai belahan dunia. Yoga, yang berasal dari tradisi Hindu, kini menjadi bagian dari gaya hidup global,” jelas Anick.
Dalam konteks ini, AI membuka peluang eksplorasi lintas budaya dan refleksi terhadap nilai-nilai agama.
Namun, ada pertanyaan kritis:
•Apakah keterbukaan ini memperkaya pemahaman agama, atau justru membuatnya lebih individualistik?
•Apakah AI dapat menjaga substansi spiritualitas manusia, atau hanya mengubahnya menjadi sekadar konsumsi informasi digital?
Dampak AI terhadap agama sudah terjadi saat ini. Beberapa contoh konkret:
Chatbot AI untuk tafsir agama: Di Arab Saudi, AI mulai digunakan untuk menjawab pertanyaan seputar Islam berdasarkan kitab-kitab klasik.
Baca Juga
AI dalam penerjemahan kitab suci: Teknologi ini memungkinkan akses lebih luas ke teks keagamaan dalam berbagai bahasa, mempercepat penyebaran pemahaman agama secara global.
Asisten AI untuk ritual keagamaan: Di Jepang, beberapa kuil Buddha menggunakan robot untuk membacakan doa bagi para jamaah.
AI dalam prediksi tren keagamaan: Algoritma AI mulai digunakan untuk menganalisis pola perubahan keyakinan dan praktik spiritual dalam masyarakat global.
Teori Denny JA melengkapi sosiologi agama klasik dengan memberikan perspektif baru mengenai agama di era AI.
Teknologi tidak akan menggantikan esensi pengalaman spiritual, tetapi akan mengubah cara manusia berinteraksi dengan agama dan mencari makna hidup.
“AI mengubah posisi otoritas agama, tetapi tidak menggantikan pengalaman spiritual. Agama akan bertahan, beradaptasi, dan menemukan cara baru untuk memberikan makna bagi kehidupan manusia,” tutup Anick.