News . 16/02/2025, 09:47 WIB

Teori Denny JA Melengkapi Sosiologi Agama

Penulis : Khanif Lutfi
Editor : Khanif Lutfi

fin.co.id - Revolusi Artificial Intelligence (AI) telah mengubah banyak aspek kehidupan manusia, termasuk cara kita memahami dan beragama. AI tidak hanya mempercepat akses terhadap informasi keagamaan, tetapi juga menggeser otoritas tradisional dalam tafsir agama.

Dalam 10-20 tahun ke depan, apakah pemuka agama akan semakin digantikan oleh AI? Apakah agama akan lebih bersifat individual atau tetap mempertahankan komunitasnya?

Dalam konteks inilah Denny JA memperkenalkan teori baru yang menghubungkan sosiologi agama klasik dengan revolusi AI, suatu perspektif yang oleh Budhy Munawar-Rahman disebut sebagai “Teori Denny JA tentang Agama dan Spiritualitas di Era AI.”

Kini, teori Denny JA mulai diajarkan di berbagai kampus negeri dan swasta di Indonesia, baik sebagai mata kuliah mandiri maupun bagian dari kurikulum sosiologi agama dan filsafat.

Denny JA memperluas kajian para pemikir besar seperti Edward Burnett Tylor, Karl Marx, Émile Durkheim, dan Max Weber dengan menambahkan dimensi baru: bagaimana AI mempengaruhi akses, interpretasi, dan peran sosial agama di era digital.

Menurut Anick HT, Sekjen Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Jakarta, teori ini tidak menggantikan sosiologi agama klasik, tetapi melengkapi dan memperkaya pemahaman tentang interaksi agama dengan perkembangan zaman.

“Agama selalu menjadi fenomena sosial yang dinamis. Dengan hadirnya AI, kita menyaksikan perubahan besar dalam akses terhadap informasi, interpretasi teks suci, dan peran sosial agama dalam masyarakat,” ujar Anick.

Bukti perubahan itu terlihat dalam data. Sebuah survei oleh seorang dosen UIN Bandung pada tahun 2020 menemukan bahwa 58 persen generasi milenial lebih memilih belajar agama melalui media sosial seperti Instagram dan YouTube dibandingkan dengan menghadiri pengajian langsung dari pemuka agama.

Salah satu aspek utama dalam Teori Denny JA adalah pergeseran otoritas keagamaan akibat AI dan dunia digital.

•Dulu, akses terhadap pemahaman agama dikendalikan oleh pemuka agama dan institusi keagamaan. Tafsir agama diwariskan secara hierarkis melalui ulama, pendeta, atau guru spiritual.

•Kini, AI memungkinkan siapa pun untuk mengakses ribuan tafsir dari berbagai tradisi hanya dalam hitungan detik, menerjemahkan teks ke dalam berbagai bahasa, serta membandingkan konteks sejarah dan sosial dalam agama.

“Pemuka agama tetap memiliki tempat dalam membimbing komunitas, tetapi kini bukan lagi satu-satunya sumber rujukan,” tambah Anick.

Namun, dengan terbukanya akses ini, muncul tantangan besar bagi komunitas keagamaan:

1.Bagaimana AI dapat digunakan secara bertanggung jawab dalam konteks keagamaan?

2.Bagaimana memastikan bahwa keterbukaan informasi tidak mengarah pada disinformasi atau penyederhanaan pemahaman agama?

Agama sebagai Tradisi Kultural dan Ruang Refleksi

           
© 2024 Copyrights by FIN.CO.ID. All Rights Reserved.

PT.Portal Indonesia Media

Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210

Telephone: 021-2212-6982

E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com