Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN VJ
Rakyat Kecil Dirumahkan, Elit Diangkat: Efisiensi atau Pemborosan?
Di tengah wacana efisiensi anggaran yang digemakan oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, kita menyaksikan sebuah ironi besar. Ratusan tenaga honorer dan pegawai kontrak yang selama ini bekerja keras untuk menopang birokrasi negara, kini harus menghadapi pemecatan massal dengan alasan efisiensi.
Sementara itu, tanpa malu-malu, pejabat pemerintah justru sibuk mengangkat staf khusus dengan gaji dan fasilitas fantastis. Pertanyaannya, apakah ini benar-benar efisiensi, atau hanya kamuflase untuk melanggengkan kepentingan segelintir elit di lingkaran kekuasaan?
Di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, sebanyak 437 tenaga honorer telah dirumahkan sejak 10 Februari 2025, dan jumlah ini diprediksi akan terus bertambah.
Di Bondowoso, sekitar 5.386 tenaga honorer kini dihantui ketidakpastian nasib mereka. Begitu pula dengan ribuan pegawai di berbagai daerah yang nasibnya terkatung-katung akibat kebijakan efisiensi anggaran yang tidak jelas arah dan sasarannya.
Baca Juga
Di level nasional, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengalami pemotongan anggaran dari Rp110,95 triliun menjadi Rp29,57 triliun. Meskipun pihak kementerian menyatakan bahwa tenaga non-ASN tetap terjamin, fakta di lapangan menunjukkan bahwa ribuan pekerja telah kehilangan pekerjaan mereka.
Lalu, di tengah krisis ini, Menteri Pertahanan dengan santainya mengangkat enam staf khusus baru, termasuk figur publik seperti Deddy Corbuzier.
Tidak berhenti di situ, kementerian lain pun melakukan hal serupa. Gaji pokok seorang staf khusus setara pejabat eselon I, yaitu sekitar Rp19.939.000 per bulan, ditambah tunjangan dan fasilitas lainnya, sehingga total penghasilannya bisa mencapai Rp25 juta per bulan atau lebih. Jika dibandingkan dengan gaji tenaga honorer yang berkisar Rp2 juta per bulan, maka satu staf khusus setara dengan gaji 16 pegawai honorer. Inilah yang disebut sebagai efisiensi setengah hati.
Kebijakan yang Tidak Berpihak pada Rakyat
Kebijakan pemecatan tenaga honorer ini tidak hanya berdampak pada individu yang kehilangan pekerjaan, tetapi juga pada keluarga mereka. Ribuan keluarga kehilangan sumber penghasilan, anak-anak kehilangan biaya sekolah, dan masyarakat kehilangan pelayanan publik yang mereka butuhkan.
Di sekolah-sekolah, guru honorer yang selama ini mengisi kekosongan tenaga pendidik harus angkat kaki tanpa jaminan pengganti.
Di puskesmas-puskesmas, tenaga medis kontrak yang telah mengabdikan diri selama bertahun-tahun kini dibiarkan menganggur. Efisiensi macam apa yang hanya menyasar kalangan bawah sementara di lingkaran atas, para pejabat masih bisa dengan santai membagi-bagikan jabatan staf khusus kepada rekan-rekan mereka?
Jika efisiensi anggaran benar-benar menjadi tujuan utama, mengapa tidak dimulai dari pemangkasan pos-pos yang tidak relevan seperti pengangkatan staf khusus yang jumlahnya berlebihan?