Ekonomi . 26/12/2024, 09:55 WIB
fin.co.id - Prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini dan tahun depan diperkirakan stagnan di angka 5 persen.
Hal ini disampaikan oleh ekonom senior INDEF, Prof. Didik J. Rachbini, yang menyoroti ketidakefektifan strategi kebijakan pemerintah dalam melepaskan sektor industri dari jebakan deindustrialisasi dini.
“Industri terus menunjukkan pertumbuhan rendah, hanya sekitar 3-4 persen dalam beberapa tahun terakhir. Dengan kondisi ini, sulit untuk mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen, apalagi target ambisius sebesar 8 persen yang dicanangkan pemerintahan baru,” jelas Didik dalam keterangannya kepada Disway Kamis 26 Desember 2024.
Ia juga menyoroti bahwa selama pemerintahan Presiden Joko Widodo, sektor industri cenderung diabaikan tanpa kebijakan strategis yang signifikan. Akibatnya, target pertumbuhan 7 persen yang pernah dijanjikan meleset jauh.
Menurut Didik, kunci untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi terletak pada strategi reindustrialisasi berbasis sumber daya alam, seperti yang pernah diterapkan pada era 1980-an hingga awal 1990-an. Strategi ini meliputi pengembangan industri berbasis sumber daya (resource-based industry), industri berorientasi ekspor (export-led industry), serta pendekatan outward-looking yang fokus pada daya saing global.
“Tanpa perubahan strategi menuju industri yang kompetitif di pasar internasional, mustahil mencapai target pertumbuhan 8 persen,” tegasnya.
Namun, ia mengakui bahwa tantangan global, seperti perlambatan permintaan internasional, membutuhkan diversifikasi pasar ekspor ke kawasan di luar Eropa, Cina, dan Amerika Serikat.
Untuk itu, ia mendorong peran diplomasi ekonomi dengan menargetkan duta besar untuk meningkatkan ekspor dan memperbaiki neraca perdagangan bilateral.
Selain masalah sektoral, Didik menyoroti persoalan fiskal Indonesia, terutama terkait utang pemerintah yang terus meningkat.
Dari 2010 hingga 2024, rasio utang terhadap PDB naik dari 26 persen menjadi 38,55 persen. Per September 2024, total utang pemerintah tercatat mencapai Rp8.473,90 triliun.
“Praktik ekonomi politik utang yang tidak sehat ini mencerminkan lemahnya kontrol dan sistem cek dan keseimbangan dalam politik anggaran selama 10 tahun terakhir,” ungkap Didik.
Tingginya tingkat suku bunga obligasi Indonesia yang mencapai 7,2 persen – jauh di atas rata-rata negara ASEAN – menjadi salah satu dampak negatif dari kebijakan utang yang berlebihan.
Dibandingkan, suku bunga obligasi di Thailand hanya 2,7 persen, Vietnam 2,8 persen, Singapura 3,2 persen, dan Malaysia 3,9 persen.
Tingginya beban pembayaran bunga utang telah menggerus kualitas belanja negara. Porsi pembayaran bunga utang dalam anggaran pemerintah pusat naik dari 11,09 persen pada 2014 menjadi 20,10 persen pada 2024.
Belanja nonproduktif, seperti belanja pegawai dan barang, juga meningkat dari 34 persen (2014) menjadi 36 persen (2024).
PT.Portal Indonesia Media
Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210
Telephone: 021-2212-6982
E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com