Ketidakseimbangan bakteri baik dan jahat di area vagina juga dapat menyebabkan infeksi bakteri. Bakteri seperti Gardnerella, Streptococcus, dan Staphylococcus bisa berkembang biak secara berlebihan, mengarah pada keputihan berbau amis.
Penyakit Menular Seksual (PMS)
Infeksi yang disebabkan oleh PMS, seperti klamidia, gonore, atau trikomoniasis, dapat menyebabkan vulvovaginitis. Gejalanya sering kali berupa keputihan yang tidak normal disertai dengan nyeri saat buang air kecil atau saat berhubungan intim.
Atrofi Vagina
Penurunan kadar estrogen, yang biasanya terjadi setelah menopause, dapat menyebabkan penipisan dinding vagina dan mengarah pada peradangan. Ini menyebabkan gejala seperti kekeringan, gatal, atau iritasi yang cukup mengganggu.
Pengobatan untuk Vulvovaginitis
Untuk mengatasi vulvovaginitis, pengobatannya harus disesuaikan dengan penyebab yang mendasarinya. Berdasarkan informasi dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), berikut beberapa obat yang dapat digunakan untuk mengatasi kondisi ini:
Baca Juga
-
Fluconazole
Obat ini merupakan jenis anti jamur yang sering digunakan untuk mengobati infeksi jamur pada vagina, khususnya infeksi oleh Candida. Fluconazole 150 mg dapat membantu mengatasi rasa gatal dan gejala iritasi lainnya.
-
Clotrimazole
Selain Fluconazole, obat lain yang bisa digunakan untuk infeksi jamur adalah Clotrimazole. Obat ini efektif dalam mengobati infeksi jamur pada kulit dan juga pada area kewanitaan.
-
Neo Gynoxa Ovula
Obat ini mengandung metronidazole dan nystatin yang bermanfaat untuk mengatasi infeksi campuran akibat jamur dan parasit. Umumnya, Neo Gynoxa digunakan untuk pengobatan infeksi yang lebih kompleks.
-
Terapi Hormon
Jika vulvovaginitis disebabkan oleh penurunan kadar estrogen, terapi hormon pengganti bisa menjadi pilihan. Terapi ini membantu mengatasi kekeringan dan peradangan pada area kewanitaan, terutama pada wanita menopause.