'Quo Vadis Pilkada'

fin.co.id - 14/12/2024, 22:21 WIB

'Quo Vadis Pilkada'

Ketua Fraksi Gerindra DPRD Kabupaten Serang, Ahmad Muhibin--

Meski, wacana ini menuai kritik karena dinilai dapat mengurangi demokrasi langsung, yang menjadi salah satu capaian penting reformasi. Kekhawatiran lainnya adalah meningkatnya risiko politik transaksional di internal DPRD.

Beberapa negara melakukan pemilihan kepala daerah oleh legislatif diantaranya, sistem parlementer di Jerman mengamanatkan bahwa kepala daerah tertentu, seperti wali kota di beberapa negara bagian, dipilih oleh dewan legislatif lokal.

Proses ini mencerminkan konsensus antara partai politik di parlemen. Demikian halnya kepala menteri di India, yang memimpin pemerintah negara bagian, diangkat berdasarkan suara mayoritas di legislatif negara bagian serta Malaysia, sistemnya mirip dengan India. Menteri Besar di negara bagian dipilih berdasarkan dukungan legislatif negara bagian, yang dipilih langsung oleh rakyat.

Implikasi Wacana Pemilihan oleh DPRD

Dengan ramainya diskusi-diskusi terkait pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh DPRD terdapat beberapa implikasi yaitu secara positif, adanya penghematan anggaran pemilu, meminimalisasi konflik horizontal di masyarakat akibat polarisasi politik serta mengurangi beban politik kepala daerah untuk berfokus pada populisme.

Namun dari sisi implikasi negatif, Demokrasi langsung tereduksi, dan suara rakyat tidak terwakili secara langsung,potensi politik uang dan lobi-lobi di DPRD meningkat serta kredibilitas kepala daerah dapat dipertanyakan. Terutama jika ia terpilih melalui konsensus politik transaksional.

Pemilihan kepala daerah oleh DPRD merupakan langkah yang memiliki kelebihan dan kekurangan. Dibandingkan dengan negara-negara lain, sistem ini mungkin efisien dalam konteks tertentu, tetapi tidak selaras dengan semangat demokrasi langsung yang kini dipegang teguh di Indonesia.

Perdebatan ini perlu melibatkan kajian mendalam terkait aspek biaya, transparansi, dan efektivitas tata kelola pemerintahan, serta mempertimbangkan pengalaman dari negara-negara yang menerapkan model serupa.

Wacana pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh DPRD merupakan isu yang menimbulkan pro dan kontra. Di satu sisi, pemilihan oleh DPRD dinilai dapat meningkatkan efisiensi anggaran, memperkuat hubungan kepala daerah dengan legislatif, serta mengurangi potensi konflik horizontal dan politik uang di tingkat masyarakat.

Namun, di sisi lain, mekanisme ini dapat melemahkan prinsip demokrasi langsung, memunculkan risiko politik transaksional di DPRD, dan mengurangi akuntabilitas kepala daerah kepada rakyat.

Pengalaman dari berbagai negara menunjukkan bahwa pemilihan kepala daerah oleh legislatif dapat berjalan efektif dalam sistem parlementer atau di wilayah dengan budaya politik yang matang.

Namun, untuk konteks Indonesia, perubahan mekanisme pemilihan ini berpotensi menimbulkan tantangan baru, terutama terkait kepercayaan publik terhadap proses politik.

Karena itu, setiap kebijakan terkait wacana ini harus mempertimbangkan aspek demokrasi, akuntabilitas, dan kepentingan masyarakat luas. Alternatif yang dapat dipertimbangkan adalah memperbaiki sistem pemilihan langsung.

Seperti memperketat pengawasan untuk mencegah politik uang dan menekan biaya pemilu, daripada menghapuskan hak rakyat untuk memilih langsung pemimpinnya.

Rizal Husen
Penulis