fin.co.id - Maraknya judi online terutama di kalangan generasi muda disebabkan oleh teknologi dan kemudahan akses. Di mana, kemudahan pembayaran semakin melancarkan pengguna, termasuk mahasiswa, untuk menyetorkan uang deposit secara terus-menerus.
Hal itu disampaikan oleh pengamat investasi, keuangan, dan perbankan Universitas Gadjah Mada (UGM) I Wayan Nuka Lantara. Tak hanay itu, dia mengatakan, lingkungan yang permisif seolah mewajarkan tindakan perjudian yang dilarang.
“Judol (judi online) ini banyak digemari karena modalnya kecil, tapi untungnya berlipat,” ujar Wayan dalam keterangannya, Sabtu 30 November 2024.
Dijelaskannya, judi online terbukti mengakibatkan efek negatif, mulai dari sisi ekonomi, psikologis, sosial, dan kesehatan. Bahkan, kata dia, saat ini ada istilah gambling disorder bagi orang yang mengalami gangguan kesehatan akibat kecanduan judi.
Gejala ini muncul ketika seseorang berulang kali mengalami kekalahan, tapi masih tak kapok karena harapan akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
“Diibaratkan menggali sebuah lubang, makin dia menggali, lubang itu akan makin dalam dan dia akan terjebak di dalamnya,” ungkap Wayan.
Bahkan, ia menyebut bahwa biaya rehabilitasi korban judi di Jerman lebih besar dibanding transaksi judi itu sendiri. Tak hanya itu, kriminalitas pun akan meningkat apabila kondisi ini dibiarkan berlarut.
Baca Juga
Hingga pada akhirnya, kemungkinan terburuk dari maraknya judi online ini adalah resesi yang disebabkan oleh melemahnya daya beli masyarakat. Pasalnya, terjadi misalokasi anggaran rumah tangga karena digunakan untuk hal-hal yang tidak produktif, seperti judi online.
Besarnya angka pengguna judi online dan nominal transaksi dinilai merugikan negara karena kehilanganny opportunity cost sejumlah uang yang diputarkan untuk judi online.
Diungkapkannya, Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat jumlah transaksi judi online mencapai sebesar Rp327 triliun pada akhir tahun 2023. Sedangkan Satuan Tugas Pemberantasan Perjudian Daring juga mencatat sebanyak 2,37 juta orang terjebak judi online.
Di mana, 80 persen di antaranya merupakan kelompok ekonomi menengah ke bawah. Selain itu, hingga saat ini sebanyak 960 ribu pelajar, termasuk mahasiswa terlibat judi online.
“Harapannya ada kesadaran dari pemerintah untuk menghentikan judi online ini, karena itu sangat merugikan,” tutur Wayan.
Dosen Program Studi Manajemen tersebut pun menyarankan adanya forum khusus pencegahan judi online di lingkungan akademik untuk membangun kesadaran mahasiswa tentang bahaya judi online.
Selain itu, edukasi pengelolaan keuangan juga penting dilakukan agar mahasiswa mampu mengelola uang sesuai kondisi finansial dan terhindar dari misalokasi anggaran.
Studi membuktikan bahwa 82% orang yang mengakses internet pernah melihat iklan judi online. Dari banyaknya sosial media yang eksis, Instagram dan Facebook menempati urutan teratas media sosial dengan iklan judi online terbanyak. Selain itu, situs film ilegal dan game online menjadi ladang subur pengguna judi online.