Editorial: Netralitas ASN di Banten Terancam, Spanduk PJ Gubernur Diduga Arahkan Memilih Cagub Tertentu Memicu Keprihatinan

fin.co.id - 20/11/2024, 17:02 WIB

Editorial: Netralitas ASN di Banten Terancam, Spanduk PJ Gubernur Diduga Arahkan Memilih Cagub Tertentu Memicu Keprihatinan

Spanduk PJ gubernur Banten Al Muktabar yang diduga mendukung paslon tertentu pada Pilkada Serentak. (Dok. IST)

Oleh: Sigit Nugroho

Redaktur fin.co.id

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di seluruh Indonesia pada 27 November 2024 semakin memanas, namun ada satu kejadian di Banten yang patut membuat kita semua bertanya: apakah netralitas aparatur sipil negara (ASN) masih dihormati? Baru-baru ini, publik dikejutkan dengan beredarnya spanduk yang diduga melanggar aturan netralitas ASN, yang secara jelas mengarahkan warga untuk memilih calon gubernur nomor urut 1, Airin Rachmi Diany, dalam Pilkada Banten mendatang. Spanduk yang bertuliskan "Berbeda Suara Tetap Satu Juga" ini, meskipun tidak menyebutkan nama langsung, jelas ini diduga terasosiasi dengan kampanye Airin yang menggunakan nomor urut 1.

Ini bukan sekadar soal frasa yang ambigu. Ini adalah soal potensi pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip netralitas yang seharusnya dimiliki oleh ASN. Sebagai Penjabat (PJ) Gubernur Banten, Al Muktabar seharusnya menjadi contoh dalam menjaga integritas dan profesionalisme birokrasi, tidak malah terlibat dalam politik praktis. Sebagai ASN, ia wajib menjunjung tinggi netralitas dan tidak boleh terlibat dalam kampanye atau mempengaruhi pilihan politik publik, terlebih dalam kapasitasnya sebagai pejabat negara.

Mengapa ini sangat mengkhawatirkan? Karena dari sini kita bisa melihat bagaimana praktik politik yang tidak sehat dapat merusak kepercayaan publik terhadap sistem pemerintahan. Ketika ASN terlibat secara terang-terangan dalam mendukung calon tertentu, terutama seorang pejabat seperti PJ Gubernur, maka netralitas birokrasi yang sudah dipertaruhkan dalam beberapa tahun terakhir ini menjadi sia-sia. Hal ini akan menciptakan ketidakadilan dalam Pilkada, di mana sebagian pemilih merasa terintimidasi atau dipengaruhi oleh kekuasaan politik yang ada di level pemerintahan.

Spanduk itu, meskipun tidak eksplisit mengarahkan untuk memilih calon tertentu, namun formulasi dan timing-nya sangat jelas mencerminkan keberpihakan pada salah satu kandidat, Airin Rachmi Diany, yang menggunakan nomor urut 1. Padahal, menurut aturan yang ada, semua pejabat publik, khususnya yang menjabat sebagai ASN, dilarang untuk menyatakan dukungan terhadap calon mana pun dalam proses politik. Mereka harus memastikan bahwa tidak ada unsur pemaksaan atau penekanan terhadap masyarakat, apalagi sampai mengaburkan peran mereka sebagai pelayan publik yang seharusnya objektif dan tidak berpihak.

Sebagai seorang PJ Gubernur yang seharusnya menjalankan roda pemerintahan dengan adil dan transparan, Al Muktabar mestinya menyadari bahwa setiap langkah yang diambil akan menjadi sorotan publik. Terlebih lagi, penggunaan spanduk dengan slogan yang mengarah pada satu calon di tengah-tengah Pilkada merupakan tindakan yang sangat riskan. Ini bukan hanya soal etika politik, tetapi juga soal bagaimana sistem birokrasi dapat menjadi bagian dari permainan politik yang merusak kepercayaan rakyat terhadap pilihan demokrasi.

Penting untuk dicatat, bahwa tindakan seperti ini akan semakin memperburuk citra pemilu dan Pilkada di Indonesia yang sudah sering kali dipandang sebagai ajang ketidakadilan politik. Ketika para pejabat negara, termasuk PJ Gubernur, tidak bisa menjaga jarak dengan dunia politik, maka kita harus mempertanyakan kualitas demokrasi kita. Ketika institusi negara malah terlihat berpihak pada satu calon, maka siapa yang bisa menjamin bahwa proses pemilu akan berjalan dengan adil?

Dengan demikian, seharusnya pemerintah, baik pusat maupun daerah, segera menanggapi beredarnya spanduk ini. Apakah benar ada pelanggaran terhadap netralitas ASN? Apa sanksi yang akan diberikan jika terbukti ada penyalahgunaan kekuasaan? Jangan biarkan Banten menjadi contoh buruk tentang bagaimana birokrasi dan politik bisa saling mengaburkan batasnya.

Jika kita tidak segera bertindak, maka ini hanya akan menjadi bukti bahwa sistem pemerintahan kita belum sepenuhnya mampu menciptakan iklim politik yang bersih, adil, dan transparan. Maka dari itu, saatnya untuk mengambil langkah tegas dan memastikan bahwa prinsip netralitas ASN dihormati, demi menjaga integritas demokrasi dan kepercayaan masyarakat. (*)

Sigit Nugroho
Penulis