FOMO dan Doom Spending: Kenapa Pelajar Rela Habiskan Rp2 Juta di Miniso X Harry Potter?

fin.co.id - 22/10/2024, 17:13 WIB

FOMO dan Doom Spending: Kenapa Pelajar Rela Habiskan Rp2 Juta di Miniso X Harry Potter?

Booth Harry Potter di Miniso diserbu pembeli Selasa 22 Oktober 2024 (Disway-Sabrina Hutajulu)

fin.co.id – Di tengah kesibukan belanja yang semakin menjamur, seorang pelajar asal Tangerang mengaku telah mengeluarkan hampir Rp2 juta untuk pernak-pernik dari koleksi Miniso X Harry Potter di Central Park, Jakarta Barat, pada Selasa, 22 Oktober 2024.

Momen belanja ini bukan hanya sekadar hobi, tetapi juga mencerminkan fenomena yang lebih besar di kalangan Generasi Z, yang seringkali terjebak dalam siklus FOMO (Fear of Missing Out).

Mengakui FOMO dengan Bangga

Pelajar yang enggan menyebutkan namanya ini dengan jujur mengakui bahwa dorongan untuk berbelanja berasal dari rasa takut ketinggalan tren. "Habis hampir Rp2 juta. Gapapa dibilang FOMO karena memang iya," ujarnya sambil tertawa.

Walaupun mengakui ketidakpahaman mendalam tentang dunia Harry Potter, dia merasa terhubung dengan karakter-karakter yang ada, setelah menonton beberapa film.

FOMO bukan hanya sekadar istilah; bagi banyak Gen Z, ini menjadi motivasi untuk membeli barang-barang yang mungkin tidak terlalu mereka butuhkan, tetapi dianggap penting untuk status sosial di media sosial.

Pelajar ini pun berencana untuk kembali membeli lebih banyak barang untuk melengkapi koleksinya, menambah anggaran belanja dengan menjual barang secara online dan mengikuti program afiliasi.

Fenomena Doom Spending

Magis di Tengah Jakarta: Antrean Panjang Fans Harry Potter Serbu Miniso di Central Park!

Antrean panjang di kasir Miniso Central Park Selasa 22 Oktober 2024 (Disway/Sabrina Hutajulu)

Ekonom Bhima Yudistira dari Celios menjelaskan bahwa perilaku belanja ini merupakan bagian dari fenomena yang lebih luas yang dikenal sebagai "doom spending."

Fenomena ini terjadi di kalangan Gen Z yang mulai merasa pesimis menghadapi kenaikan biaya hidup yang terus meningkat. "Uang yang seharusnya ditabung untuk masa depan, kini digunakan untuk belanja barang-barang tersier," ungkap Bhima, saat dihubungi, Selasa, 22 Oktober 2024.

Belanja barang-barang yang mungkin dianggap tidak esensial ini, menurut Bhima, adalah reaksi terhadap ketidakpastian ekonomi yang melanda.

Seperti halnya fenomena Gen Z yang berani berutang untuk menghadiri konser, doom spending menunjukkan bagaimana generasi ini mencari kebahagiaan jangka pendek di tengah situasi yang tidak menentu.

Kesimpulan

Kasus pelajar ini bukanlah kejadian isolasi. Ia mencerminkan pergeseran dalam pola pikir dan perilaku belanja di kalangan Generasi Z yang lebih besar, yang mungkin lebih memilih untuk menghabiskan uang sekarang daripada menabung untuk masa depan.

Sigit Nugroho
Penulis