fin.co.id - Menanggapi pertumbuhan ekonomi yang stagnan di angka 5 persen, para ekonom akhirnya buka suara untuk memperingatkan Presiden Terpilih Prabowo Subianto untuk tidak asal mengabaikan sektor industri di Indonesia demi mencegah perlambatan pertumbuhan ekonomi ini.
Menurut keterangan Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Didik J. Rachbini, ia mengkhawatirkan pemerintahan Indonesia yang saat ini malah terfokus kepada hilirisasi. Padahal, indutrialisasi merupakan faktor utama dalam pertumbuhan ekonomi.
"Industri ini yang paling jeblok, PMI-nya turun di bawah 50 persen dan tidak ada kebijakan industri, sehingga mustahil untuk tumbuh (perekonomian) jadi 6-7 persen. Kalau industrinya belum beres jangan harap ekonominya tumbuh," jelas Didik dalam forum diskusi bertajuk 'Melanjutkan Kritisisme Faisal Basri: Memperkuat Masyarakat Sipil, Mengawasi Kekuasaan' yang digelar secara daring pada Minggu 15 September 2024.
Selain itu, Didik juga menyoroti defisit yang terus berjalan akibat ekspor yang cenderung stagnan dan lemah, serta ketergantungan Indonesia kepada bahan baku mentah.
Jika hal ini terus berlanjut, tingkat ekspor Indonesia bisa saja tersalip oleh negara-negara lainnya seperti Bangladesh dan Malaysia.
"Kebijakan fiskal yang defisit ini dalam batas tertentu memang tidak, dan justru malah digunakan untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Sehingga defisit semakin besar dan tidak meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan sektor industri justru lebih tengkurep," pungkas Didik.
Menambahkan, Didik juga memperingatkan mengingatkan agar Prabowo tidak melanjutkan kebijakan utang Jokowi yang dinilai sangat ugal-ugalan karena berpotensi menyebabkan krisis.
Baca Juga
Dia mencontohkan, pemerintah mengeluarkan surat berharga negara (SBN) hingga Rp1.500 triliun pada 2021—2022.
"Warisan hutang Jokowi akan menjadi beban bagi Prabowo nanti. Kalau pak Prabowo melanjutkan warisan hutan Jokowi, akan kritis nantinya," tegas Didik. (Bia)