fin.co.id — Kontroversi meletus seputar Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Eniya Listiani Dewi, mengklaim bahwa skema sewa jaringan listrik—dikenal sebagai pemanfaatan bersama jaringan transmisi (PBJT)—bukanlah bentuk liberalisasi. Namun, pernyataan ini langsung disanggah keras oleh Ketua Umum DPP SP PT PLN (Persero), Abrar Ali.
Liberalisasi Terselubung: RUU EBET Dituding Ciderai Konstitusi
Abrar Ali menuduh skema PBJT sebagai bentuk liberalisasi terselubung yang merugikan ekonomi kerakyatan. "Pernyataan Eniya Listiani Dewi menunjukkan ketidakpahaman mendalam tentang arti liberalisasi," ujar Abrar.
Menurutnya, skema ini melanggar Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan penguasaan sektor strategis oleh negara, diwakili oleh BUMN seperti PLN.
Baca Juga
- Prabowo Berencana Pasang 3 Wamenkeu Bantu Sri Mulyani
- Prabowo Mulai Pembekalan Calon Menteri dan Wakil Menteri Besok di Hambalang
Empat Putusan MK: PBJT Dituding Inkonsitusional dan Merugikan Rakyat
Abrar mengklaim bahwa PBJT bertentangan dengan sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menekankan bahwa sektor ketenagalistrikan harus dikelola oleh negara. Putusan-putusan tersebut menggarisbawahi bahwa usaha ketenagalistrikan tidak bisa diserahkan ke pasar bebas karena akan merugikan masyarakat luas dan bertentangan dengan asas Pancasila.
Ekonomi dan Sosial: Rakyat Tertinggal, Pengusaha diuntungkan
Abrar menambahkan bahwa skema PBJT hanya menguntungkan pemilik modal, sedangkan masyarakat miskin akan semakin terpinggirkan. "Ini jelas merugikan masyarakat dan tidak sesuai dengan prinsip Pancasila," tegas Abrar. Ia menilai bahwa pemerintah terlalu terburu-buru dalam memaksakan skema ini tanpa mempertimbangkan dampak negatifnya terhadap rakyat.
Proses Pembentukan UU Dipertanyakan: Keterbukaan dan Partisipasi Publik Terabaikan
Baca Juga
- Sufmi Dasco Sebut Pemanggilan Calon Wakil Menteri Selesai
- Daftar 58 Tokoh Dipanggil Prabowo ke Kertanegara
Abrar juga mengkritik proses pembentukan RUU EBET yang dianggapnya melanggar prinsip-prinsip keterbukaan dan demokrasi. "Proses legislasi harus mengikuti tahapan yang transparan dan partisipatif sesuai dengan undang-undang," tambahnya.
Ia meminta agar pengesahan RUU ini ditunda hingga ada jaminan bahwa kebijakan tersebut benar-benar memberikan manfaat bagi masyarakat.
Dengan meningkatnya ketegangan ini, perhatian kini terfokus pada langkah pemerintah selanjutnya. Apakah skema PBJT akan tetap dipaksakan meski mendapat penolakan keras dari berbagai pihak? Ataukah pemerintah akan mempertimbangkan kembali kebijakan yang dianggap kontroversial ini? Waktu akan menentukan bagaimana nasib sektor ketenagalistrikan dan dampaknya terhadap rakyat Indonesia. (*)
Dapatkan berita terkini langsung di ponselmu. Ikuti saluran FIN.CO.ID di WhatsApp: https://whatsapp.com/channel/0029Vajztq