fin.co.id – Power Wheeling, sebuah skema liberalisasi pasar ketenagalistrikan yang memungkinkan penjualan listrik secara langsung dari pembangkit ke konsumen akhir melalui mekanisme Multi Buyer Multi Seller (MBMS), kini menjadi kontroversi panas dalam kebijakan energi Indonesia.
Konsep ini, yang melibatkan dua model transaksi Wholesale Wheeling dan Retail Wheeling menggunakan jaringan transmisi sebagai "jalan tol" dengan biaya yang dikenakan, dinilai membawa risiko besar bagi ekonomi dan ketahanan energi nasional.
Dampak Keuangan Mengkhawatirkan:
- Penurunan Permintaan : Power Wheeling dapat mengurangi permintaan listrik organik hingga 30% dan permintaan non-organik hingga 50%. Akibatnya, beban APBN diperkirakan akan melonjak.
- Beban Negara : Setiap 1 GW pembangkit listrik dalam skema ini dapat menambah beban negara hingga Rp 3,44 triliun. Akumulasi hingga 2030 bisa menambah beban ToP dari Rp 317 triliun menjadi Rp 429 triliun.
Dampak Teknis:
- Pelanggaran UU : Skema ini bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 2022 yang telah dibatalkan pada 2004, mengurangi peran negara dalam sektor ketenagalistrikan.
- Potensi Sengketa : Power Wheeling dapat memicu sengketa terkait harga dan pasokan, berpotensi menyebabkan pemadaman listrik dan kerugian bagi masyarakat.
Masalah Teknis:
- Oversupply dan Blackout : Penerapan Power Wheeling dapat memperburuk oversupply yang sudah ada di Jawa-Bali dan meningkatkan risiko blackout akibat ketergantungan pada energi terbarukan yang tidak stabil.
Ketahanan Energi Terganggu:
- Ketersediaan Listrik : Risiko blackout yang meningkat dapat menghambat akses listrik yang andal bagi masyarakat.
- Kenaikan Harga : Beban tambahan dari spinning reserve dan investasi akan meningkatkan biaya produksi, yang pada akhirnya akan membebani konsumen dan APBN.
Pelajaran dari Filipina:
Pengalaman Filipina dengan privatisasi dan Power Wheeling menunjukkan kenaikan harga listrik sebesar 55% dan potensi pembentukan kartel. Jika diterapkan di Indonesia, risiko serupa bisa terjadi, termasuk kenaikan beban APBN yang signifikan.
M. Abrar Ali, Ketua Umum DPP SP PT PLN (Persero), menyatakan, "Power Wheeling adalah benalu dalam transisi energi kita. Penerapan skema ini berpotensi menimbulkan kerugian besar bagi ekonomi negara dan ketahanan energi nasional. Kebijakan ini harus segera ditinjau ulang agar dampak negatif yang mungkin timbul dapat diminimalisir." kata Abrar Ali, Jumat, 6 September 2024.
Namun demikian, Abrar memastikan bahwa SP PLN akan mengedepankan langkah diplomasi, dengan membangun komunikasi dengan pihak-pihak terkait, antara lain melalui DPD, DPR, hingga tim transisi pemerintahan untuk mengkomunikasikan mengenai penolakan skema power wheeling tersebut dan berbagai macam bahayanya.
"Kami menyampaikan surat ke fraksi-fraksi di DPR-RI, kami juga menyampaikan surat kepada Ketua DPD-RI Bapak La Nyala Mataliti, karena beliau juga punya hak konstitusi. Dan ke Ditjen EBTKE kita sampaikan juga surat, dan termasuk juga ke Istana. Saya juga akan menyampaikan surat ke Menteri Pertahanan, cq Presiden Indonesia terp[ilih," tegas Abrar Ali menjawab pertanyaan fin.co.id.
Abrar Ali menegaskan bahwa pemerintah perlu menilai kembali kebijakan Power Wheeling untuk menghindari kerugian ekonomi jangka panjang dan memastikan stabilitas sektor energi nasional. (*)