Gandeng Ditjen PP Kemenkumham, Jampidum Kejagung Launching Blue Print

fin.co.id - 01/08/2024, 15:32 WIB

Gandeng Ditjen PP Kemenkumham, Jampidum Kejagung Launching Blue Print

Jaksa Agung ST Burhanuddin saat menyampaikan Keynote Speech-nya yang berjudul “Optimalisasi Peran Kejaksaan dalam KUHP Nasional”. Foto: Dok Kejagung

fin.co.id - Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung (Kejagung) bersinergi dengan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan (Ditjen PP) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) melakukan Launching Blue Print “Transformasi Penuntutan Menuju Indonesia Emas 2045” dan Dialog Publik Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Jaksa Agung ST Burhanuddin hadir untuk membuka acara sekaligus menyampaikan Keynote Speech-nya yang berjudul “Optimalisasi Peran Kejaksaan dalam KUHP Nasional”. Dia menyampaikan, kegiatan ini merupakan bentuk keseriusan Kejaksaan dalam menyongsong pemberlakuan KUHP Nasional, dalam konteks optimalisasi peran Jaksa dalam KUHP Nasional yang akan diimplementasikan dalam RPP tentang Pelaksanaan KUHP Nasional ke depan.

“Secara khusus saya menyampaikan apresiasi dan penghargaan kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum beserta jajaran yang dengan cepat dan sigap merespons Perintah Harian Jaksa Agung yang diucapkan pada Upacara Hari Bhakti Adhyaksa 22 Juli 2024 untuk mempersiapkan arah dan kebijakan institusi Kejaksaan dalam Menyongsong Indonesia Emas Tahun 2045,” kata Burhanuddin dalam keterangannya, Kamis 1 Agustus 2024.

Dia mengatakan, Blue Print Transformasi Penuntutan yang telah dirumuskan itu merupakan salah satu bentuk persiapan dan kesiapan jajaran Bidang Pidana Umum dalam menyongsong Indonesia Emas Tahun 2045. Salah satu agenda dalam draf rancangan akhir Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 Menuju Indonesia Emas 2045 adalah reformasi hukum dan supremasi hukum untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara yang Berdaulat, Maju dan Berkelanjutan.

Untuk mencapai tujuan mulia tersebut, dia mengimbau, agar setiap proses penegakan hukum harus menyasar pada terwujudnya supremasi hukum nasional yang berkeadilan, berkepastian hukum, dan bermanfaat yang berdasarkan Hak Asasi Manusia.

“Penegakan supremasi hukum tersebut dapat diawali melalui tataran kebijakan, salah satunya dengan penerapan kebijakan percepatan pembaruan substansi hukum peninggalan kolonial, yang saat ini kita perjuangkan dengan telah diterbitkannya KUHP Nasional untuk kemudian melahirkan tanggung jawab berikutnya dan menyusun aturan-aturan pelaksananya sebagai penopang pembaruan substansi hukumnya,” tuturnya.

Dalam rangka menyongsong Indonesia Emas 2045, kata Burhanuddin, Kejaksaan telah menjadi bagian agenda pembangunan pemerintah dalam upaya transformatif super prioritas atau game changers pembangunan nasional 2045. Menurut dia, transformasi sistem penuntutan menuju single prosecution system dan transformasi lembaga Kejaksaan RI sebagai advocaat generaal adalah landasan transformasi yang sangat penting dan diprioritaskan demi kesuksesan Transformasi Indonesia 2045.

Dalam hal sistem penegakan hukum single prosecution system, Jaksa akan menjadi pengendali proses penuntutan mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan eksekusi. Dengan demikian tugas, fungsi dan kewenangan Kejaksaan RI akan lebih diperkuat.

Sedangkan, posisi Kejaksaan RI sebagai advocaat generaal artinya Kejaksaan RI adalah penasihat hukum tertinggi bagi Mahkamah Agung Republik Indonesia. Kejaksaan RI bertanggung jawab untuk memberikan pendapat hukum yang independen mengenai kasus-kasus yang diajukan ke Mahkamah Agung RI.

“Banyaknya kewenangan baru bagi aparat penegak hukum khususnya Jaksa dalam mengimplementasikan KUHP Nasional juga perlu mendapat perhatian, terlebih sebagai pemegang asas dominus litis tentunya akan memiliki peranan besar dalam menentukan arah penegakan hukum,” terangnya.

Untuk menjaga marwah dominus litis, Burhanuddin mendorong jajaran Kejaksaan untuk mengawal proses pembahasan dan penyusunan RPP tentang Pelaksanaan KUHP Nasional ini. Setidaknya, kata dia, beberapa poin yang harus disikapi oleh Kejaksaan dalam proses penyusunan RPP tentang Pelaksanaan KUHP ini sebagai berikut:

Pertama , ketentuan Pasal 2 Ayat (3) KUHP Nasional mengatur mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Kejaksaan harus mengawal pembuatan RPP tersebut agar dalam hukum materiilnya benar-benar memberikan peran bagi masyarakat hukum adat untuk melaksanakan norma hukum adat sebagai penyelesaian konflik di masyarakat itu sendiri dan sebagai bentuk perlindungan Masyarakat Hukum Adat.

Kedua , ketentuan Pasal 54 KUHP Nasional yang mengatur konsep dari asas Rechterilijke Pardon atau pemaafan hakim dalam tindak pidana. Dalam perkembangannya pemerintah sedang menyusun RPP tentang penyelesaian perkara berdasarkan pendekatan keadilan restoratif. Kejaksaan berperan penting untuk mendorong pendekatan keadilan restoratif dapat diimplementasikan dalam satu kesatuan proses peradilan pidana sehingga terwujudnya keharmonisan peraturan pada masing-masing institusi penegak hukum.

Ketiga , ketentuan Pasal 69 ayat (2) KUHP Nasional, mengatur mengenai tata cara perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara 20 (dua puluh) tahun diatur dalam Peraturan Pemerintah, apabila mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi, maka perubahan tersebut menjadi domain Presiden dalam memberikan Grasi dengan pertimbangan Mahkamah Agung. Kejaksaan dalam hal ini perlu untuk terlibat sebagai proses pemberian pertimbangan Grasi mengingat peran Penuntut Umum sebagai pelaksana putusan pengadilan;

Keempat , ketentuan Pasal 76 Ayat (6) KUHP Nasional, mengatur bahwa Jaksa dapat mengusulkan pengurangan masa pengawasan kepada hakim jika selama dalam pengawasan terpidana menunjukkan kelakuan yang baik berdasarkan pertimbangan pembimbing kemasyarakatan;

Mihardi
Penulis