fin.co.id - Perekonomian Indonesia kini terancam memasuki masa suram hingga tahun depan. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, Indonesia kemungkinan besar akan menghadapi berbagai tantangan serta risiko ekonomi global pada tahun 2025 mendatang.
Bahkan saat ini, menurut Sri Mulyani, Indonesia juga sudah berhadapan dengan merosotnya setoran pajak penghasilan atau Pajak Penghasilan (PPh), akibat anjloknya harga komoditas-komoditas di pasaran, yang membuat penerimaan pajak menurun.
"Dari sisi pajak Rp893,8 triliun kalau kita lihat levelnya sebenarnya cukup comparable. Disamping itu, penerimaan pajak yang berasal dari komoditas base mengalami penurunan yang tajam dari harga CPO, batu bara, dan beberapa harga komoditas lainnya," ujar Sri Mulyani. Selasa 16 Juli 2024.
Tidak berhenti sampai di sini, Badan Pusat Statistik (BPS) juga mengumumkan bahwa Indeks Harga Konsumen (IHK) telah turun atau deflasi sebesar 0,08 persen pada Juni 2014 dibandingkan bulan sebelumnya (m-t-m).
Ditambah lagi, aktivitas manufaktur Indonesia kini malah turun drastis ke level terendah hanya dalam waktu 13 bulan . Menurut data Purchasing Managers' Index (PMI) yang dirilis S&P Global pada Senin (01/07), PMI Manufakturer kini telah turun ke angka 50,7 pada Juni 2024.
"PMI anjlok seperti ini bukanlah hal yang biasa, dimana pertumbuhan pesanan baru hampir terhenti sepenuhnya karena ekspor turun untuk keempat kalinya berturut-turut," ujar Direktur Ekonomi di S&P Global Market Intelligence, Trevor Balchin, dilansir dari website resmi S&P Global.
Selain itu, Indonesia juga masih harus berhadapan dengan melemahnya nilai tukar Rupiah dan suku bunga yang tinggi. Bila hal ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin masalah ini akan berdampak ke daya beli masyarakat dan kesejahteraan para pekerja.
Baca Juga
Menurut Ekonom BCA David E. Sumual, pelemahan Rupiah ini 90 persen diselingi dengan sentimen eksternal terkait ekspektasi pemangkasan suku bunga bank sentral AS (The Fed), dan 10 persen lainnya disumbang oleh sentimen domestik terkait isu melebarnya defisit maupun penambahan utang terhadap PDB yang dianggap sebagai risiko fiskal ke depan.
Kementerian Keuangan sendiri telah memproyeksikan bahwa penerimaan pajak tahun ini kembali mengalami shortfall atau lebih rendah dibandingkan target yang sudah ditetapkan dengan perkiraan 96,6 persen terhadap APBN atau sebesar Rp1.921,9 triliun. Terdiri dari realisasi semester I-2024 sebesar Rp 893,8 triliun dan prognosa semester II-2024 Rp1.028,1 triliun. (DSW/BIA)