Seperti akademisi Malaysia bernama Hasyuda Abadi yang membahas soal perkembangan sastra Sabah dan Puisi Esai dalam konteks sastra serantau. Atau Fatin Najla Omar yang juga dari Malaysia yang membahas soal Puisi Esai sebagai wahana baru dalam sastra Melayu.
Selain itu juga ada sastrawan Brunei Haji Jawaji Haji Ahmad yang membahas soal Puisi Esai di wilayah Borneo. Pada umumnya mereka ingin menulis puisi esai, tapi mereka merasa kesulitan mendapatkan buku puisi esai untuk mereka pelajari.
Bukan hanya itu, saya juga terkagum-kagum melihat bagaimana puisi esai dipentaskan di atas panggung bergengsi itu. Bukan hanya dalam bentuk pembacaan puisi, melainkan juga musikalisasi dan teatrikal yang dibawakan oleh seniman Malaysia, Indonesia dan Brunei.
Mengikuti dengan seksama rangkaian festival itu membuat pikiran saya berkelana. Saya sendiri baru berkenalan dan mendalami puisi esai pada 2022 lalu, atau 10 tahun setelah buku pertama puisi esai diterbitkan. Buku itu berjudul “Atas Nama Cinta” karya Denny JA. Karena itu Denny JA disebut sebagai penggagas puisi esai.
Saya mendengar banyak cerita hiruk pikuk ketika puisi esai ini pada awal dicetuskan. Terjadi kegiatan dari para seniman yang menolak puisi esai. Denny JA kebanjiran hujatan dan kecaman dari berbagai pihak. Pada umumnya dari penyair dan seniman lain.
Mereka mengecam dan heran mengapa Denny JA yang bukan dari kalangan penyair seperti mereka justru mengenalkan puisi esai kepada mereka. Sebagian yang lain menolak penyebutan puisi esai karena mereka menganggap tidak ada yang baru dari puisi esai.
Saya belum bergabung dengan komunitas puisi esai ketika itu. Saya pun tidak bisa membayangkan bagaimana sulitnya membangun fondasi dari sebuah gagasan baru yang tidak populer pada awalnya, sebagaimana yang telah dilalui oleh puisi esai dan tokoh-tokoh di baliknya.
Baca Juga
Namun saya saksikan langsung, setidaknya di Sabah kemarin, adalah puisi esai hidup, bertumbuh dan kokoh sebagai sebuah gagasan.
Sebagaimana ungkapan yang kerap disampaikan oleh Penggagas Puisi Esai Denny JA pada sejumlah kesempatan, puisi esai hadir sebagai sekuntum bunga di taman. Kehadirannya tidak lantas menggugurkan bunga-bunga lain yang sudah lebih dulu bermekaran di taman itu. Melainkan ia hadir untuk ikut mewarnai taman itu.
Puisi esai yang saya saksikan adalah sebuah gagasan dan genre baru dalam sastra yang mendapatkan karpet merah di Sabah. Ia diterima dengan tangan terbuka oleh sejumlah seniman, akademisi, dan budayawan di Malaysia dan juga Brunei.
Hal itu nampak jelas dari rangkaian Festival Kesusasteraan, Kesenian dan Puisi Esei Antarbangsa Sabah ke-3, di mana "Puisi Esai" menjadi hot topic yang dibahas.
Tidak berlebihan rasanya jika sastrawan Indonesia Jamal D. Rachman pernah menyebut bahwa puisi esai lahir di Jakarta namun ibukotanya adalah Sabah.