fin.co.id- Guru besar Universitas Airlangga (Unair) Profesor Hendri Subiakto menyentil Presiden Jokowi yang dia sebut sebagai sosok yang ambisi berkuasa dengan membangun dinasti dan nepotisme.
Pernyataan itu, menanggapi video wawancara lawas Presiden Jokowi, yang pada saat itu mengakui bahwa anak-anaknya lebih senang menjadi pengusaha ketimbang terjun ke dunia politik. Jokowi saat itu mengaku melarang anak-anaknya menjadi politikus.
Pernyataan itu diakui Hendri Subiakto sebagai pernyataan yang jujur, hingga Jokowi benyak mendapat simpati masyarakat.
"Pernyataan yang JUJUR dari seorang presiden Jokowi di awal pemerintahan seperti inilah yang dulu membuat banyak orang simpati dan mendukungnya. Saya pun mendukung orang sederhana yang bisa naik ke puncak kekuasaan dan tetap memegang kesederhanaan walau sudah jadi presiden dua periode" ujar Hendri Subiakto, melalui akun Twitter-nya, dikutip Sabtu 29 Juni 2024.
Namun kenyataannya, di akhir masa Jabatannya, Jokowi biarkan anak-anaknya, Kaesang Pangarep dan Gibran Rakabumin Raka terjun ke dunia politik. Bahkan Jokowi diduga cawe-cawe untuk keduanya.
"Namun ternyata kesemuanya itu hanyalah drama sementara, yang kemudian terbuka. Kenyataannya kesederhanaan yang diucapkan itu sudah terhapus dan tertutupi realitas ambisi berkuasanya dinasti yang tak lain adalah nepotisme" kata Prof Henri Subiakto.
Mantan staf ahli di Kementerian Komunikasi dan Informatika ini mengatakan, sebagai akademisi, dirinta tidak terima dengan ambisi kekuasaam Jokowi.
Baca Juga
"Saya sebagai orang yang berlatar belakang kampus yang berpikir mengutamakan keadilan dan demokrasi, jelas tidak bisa menerima ambisi dinasti. Ambisi dari siapapun yang ingin mendahulukan kepentingan agar anak berkuasa dibanding kepentingan rakyat luas, bangsa dan negara" ujarnya.
Menurutnya, jika nepotisme dibiarkan, apalagi sampai didukung, maka akan menghasilkan dominasi kalangan nepotis mengusai sektor politik.
Kalangan nepotis juga mengusai jabatan-jabatan ekonomi seperti jajaran direksi dan komisaris di BUMN.
"Bahkan jabatan di perusahaan swasta pun mulai dikuasai kalangan nepotis yang berkolusi dengan elit-elit negara" katanya.
"Terus apa yang akan tersisa untuk orang orang biasa ketika hampir semua sektor strategis dikuasai dengan cara-cara nepotisme, karena ada ayah atau keluarga yang sedang berkuasa mendukungnya" sambung Henri Subiakto.
Dia menlanjutkan bahwa berdemokrasi dan berpolitik di negeri ini harus banyak diimbangi dengan berpikir dan bernalar kritis.
"Supaya tidak menganggap enteng fenomena rusaknya moralitas dan etika dalam berpolitik yang serba manipulatif, tidak jujur, mengedepankan bansos, dan politik uang yang juga akan mewarnai di Pilkada kita ke depan" pungkas Henri Subiakto. (*)