fin.co.id - Jepang mencatat, terjadi peningkatan kasus Streptococcal Toxic Shock Syndrome (STSS), yakni sebanyak 977 kasus yang diikuti dengan 77 kematian.
Angka ini melampaui tahun 2023 yang tercatat sebanyak 941 kasus sepanjang tahun.
Sebelumnya, penurunan terjadi pada masa pandemi. Namun, sejak pembatasan dilonggarkan, penyakit ini kembali meningkat.
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Streptococcus grup A (GAS) atau bakteri pemakan daging yang merupakan strain agresif dari Staphilococcus Aureus.
Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Konsultan Penyakit Tropik-Infeksi Prof. Dr. dr. Erni Juwita Nelwan, PhD, Sp.PD-KPTI menjelaskan, bakteri ini merupakan kuman yang berkolonisasi di tubuh manusia.
"Pada beberapa jenis dijumpai strain yang agresif sehingga menyebabkan terjadinya penyakit. Kalau ada infeksi kulit, otot dan kulit bisa busuk, dikenal Grup A Streptococcus," terang Erni kepada fin, Selasa, 18 Juni 2024.
Dosen FKUI tersebut mengatakan, bakteri ini sudah ada di tubuh setiap manusia dengan nama Staphilococcus Aureus, jenis MSSA (Metisilin Sensitif Staphilococcus Aureus) tidak kebal antibiotik, sedangkan MRSA (Metisilin Resisten Staphilococcus Aureus) kebal antibiotik.
Baca Juga
Dalam tubuh manusia, bakteri ini berfungsi sebagai flora komensal, bagian dari penyeimbang di tubuh.
Kendati demikian, terdapat superantigen yang membuat kuman ini menjadi berbahaya.
"Kuman ini menghasilkan toksin bernama TSST-1 dan Enterotoxin A, B, C, D, E, H dan ini yang membuatnya jadi berbahaya," tuturnya.
Biasanya, organ yang diserang adalah tenggorokan dan kulit.
"Bila terkena, harus ditangani dengan cepat dan tepat karena sangat berbahaya, bisa menimbulkan kematian dengan cepat," tandasnya.
Penanganan juga harus melibatkan dokter ahli penyakit infeksi. Pasien yang ditangani dengan tepat bisa sembuh total. (ANN)