FIN.CO.ID - Kecurangan dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) bakal terus terulang di tahun-tahun berikutnya karena tidak ada perubahan sistem sejak 2021. Kecurangan itu bisa berbentuk gratifikasi.
"Gratifikasi bentuknya macam-macam, ada yang model jual beli kursi, numpang KK untuk jalur zonasi, sertifikat prestasi abal-abal untuk jalur prestasi. Kemudian siswa titipan dinas, pemda, DPR, dan seterusnya," kata Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa 11 Juni 2024.
Dia mengatakan, KPK RI mengungkapkan data SPI Pendidikan 2023 yang di dalamnya termasuk tingkat kecurangan selama PPDB. Survei Penilaian Integritas ini mempertimbangkan berdasarkan tiga dimensi, di antaranya karakter pesert didik, ekosistem dunia pendidikan, serta tata kelola satuan pendidikan.
Hasilnya, kata dia, Indonesia berada di level 2 dengan angka 73,7 dari skala 100. Level SPI Pendidikan di Indonesia tidak bergerak dari tahun ke tahun.
"Kalau kita cek data di tahun-tahun sebelumnya, sebenarnya tidak apa pergerakan, masih tetap di level 2," kata Ubaid.
Tak berhenti di situ, pemalsuan data kemiskinan juga dilakukan dengan adanya jalur afirmasi. Bahkan, ia menemukan kasus di mana kepala sekolah memberikan jaminan kursi apabila orang tua berani membayar sejumlah uang.
"Oknum-oknum guru, orang dalam, ini juga digunakan karena aplikasi dan lain-lain itu di bawah kekuasaan sekolah itu," katanya.
Baca Juga
Ada pula jalur komite sekolah yang tak jauh dari orang dalam. Di mana, komite sekolah memiliki kedekatan dengan pimpinan sekolah serta dinas terkait.
Begitu pula dengan broker dari pihak luar yang menjadi sarang terjadinya penipuan. "Jadi sudah bayar puluhan juta, tapi pas pengumuman namanya tidak muncul. Ketika dikonfirmasi, ternyata si broker ini memang tidak ada hubungannya dengan sekolah. Hanya mengaku-ngaku 'sudah direstui kepala sekolah' tuturnya.
Tidak hanya itu, kata dia, kecurangan lainnya yakni pada sisrem yang error. Kemudian, sambungnya, setelah diperbaiki nama yang tadinya ada jadi hilang.
"Dan terakhir, aplikasi eror itu yang ternyata di lapangan tidak sekadar eror. Juga berdampak terhadap nama kemarin ada, kemudian setelah diperbaiki (sistem aplikasinya), namanya hilang," imbuhnya.
Karena tidak adanya perubahan sistem sejak 2021, pihaknya menduga kuat gratifikasi berpotensi terulang kembali di tahun 2024 ini. Ubaid menambahkan, banyaknya praktik korupsi selama penerimaan siswa baru ini terjadi karena kurangnya kursi yang tersedia.
Padahal, pemerintah memiliki program wajib belajar 12 tahun dan memiliki kewajiban menyediakan pendidikan yang bebas biaya. "UU Sisdiknas meletakkan seluruh anak Indonesia sama. Pasal 34 bunyinya bebas biaya yang harus ditegaskan oleh pemerintah," imbuhnya.
Sehingga, pemerintah perlu mengatur bagaimana agar kuota cukup serta pembiayaan selanjutnya. "Selama sistem PPDB itu tidak ada kepastian jaminan semua mendapatkan haknya, ya masyarakat dipaksa untuk rebutan kursi. Tindakan-tindakan koruptif itu pasti akan terjadi," pungkasnya.
(Annisa Amalia Zahro )