“Pejabat juga diharapkan menggunakan redaksi salam nasional agar semua pihak terangkum di dalamnya. Namun jika hal di atas tidak memungkinkan, maka pejabat publik atau pejabat di pemerintahan juga mendapat alasan syar'i (udzur syar'i) dengan syarat tidak diniatkan sebagai bentuk sinkretisme ibadah, ” ujarnya.
Kiai Arif meyakini bahwa rakyat Indonesia sudah matang dan dewasa dalam toleransi beragama. Sehingga tidak perlu terjebak kepada "kelatahan toleransi", yaitu jika tidak mengucapkan salam lintas agama dinilai intoleran atau anti kebangsaan, dan jika mengucapkan salam lintas agama otomatis dinilai toleran.
"Tidak sesederhana itu ukuran jiwa kebangsaan dan jiwa toleransi diukur" pungkasnya. (*)